Jakarta, Aktual.com – Meskipun diperbolehkan, namun penggunaan celah Peraturan Gubernur (Pergub) oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dianggap mengacak-acak sistem administrasi negara.

Lantaran dengan memilih menggunakan Pergub ketimbang Perda, pembangunan di DKI hanya diputuskan oleh Ahok seorang, tanpa melibatkan DPRD DKI. “Di sinilah Ahok sudah merusak sistem administrasi negara,” ujar Direktur Eksekutif Celgor (Center for Local Government Reform) Budi Mulyawan kepada Aktual.com, Jumat (27/5).

Dengan berpayung pada Pergub, kata Budi, Ahok membatalkan sebagian rencana pembangunan yang sudah disepakati bersama DPRD di APBD. Dan kemudian, Ahok menggunakan Pergub dengan menggunakan dana dari swasta untuk yang diklaimnya untuk pembangunan DKI. “Pembangunan yang untuk kepentingan dia (Ahok) saja, dan tidak membawa suara warga Jakarta yang diwakili oleh DPRD,” ujar Budi.

Gunakan Pergub, paksakan proyek anti rakyat 

Beber Budi, terlihat ada niat jelek dari Ahok dengan memakai tameng Pergub. Yakni dengan memaksakan rencana-rencana pembangunan yang tidak disetujui rakyat. “Seperti proyek reklamasi dan pembelian lahan Sumber Waras. Itu kan tidak disepakati masuk APBD. Akhirnya dia pakai Pergub untuk payung hukumnya,” ujar dia. Baca: JJ Rizal: Gila! Ahok Perjualbelikan Kemanusiaan Lewat 5-15 Persen

Bahkan Budi mengkritik keras pola akal-akalan Ahok dengan menyebut sebagai bentuk ‘administrasi preman’ seperti untuk pembangunan rumah susun korban gusuran. “Jadi dia lebih mirip bagian dari pengembang swasta, ketimbang sebagai gubernur DKI. Istilah Gubernur Podomoro terbukti benar karena pola pembangunan yang dilakukan ya pakai pola menggunakan dana-dana preman,” kata dia.

Kritik atas kebijakan Pemprov DKI yang lebih pro pengembang swasta sebelumnya juga sudah dilontarkan Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta Prof Mudzakkir. Menurut dia, Pemprov DKI tunduk pada kepentingan koporasi atau pengembang proyek reklamasi Teluk Jakarta.

“Otoritas yang ada di DKI Jakarta tunduk pada kepentingan korporate, jelas itu,” kata Mudzakir, kepada Aktual.com, di Yogyakarta, Senin (23/5) lalu.

Menurut dia, kasus suap raperda reklamasi pun merupakan bagian dari upaya pengembang mencari justifikasi (pembenaran) demi proyek senilai Rp500 triliun terealisasi. “Agar pengembang memperoleh dasar hukum atas proyek reklamasi. Artinya secara implisit diakui bahwa hukum yang dibuat itu menjadi subordinasi korporate,” ucap dia. Baca: Prof Mudzakkir: Pemprov DKI Jelas Tunduk Pada Korporasi

Artikel ini ditulis oleh: