Jakarta, Aktual.com — Pakar hukum tata negara Undana Kupang Jhon Stefanus Kottan mengatakan, sebanyak 60 persen dari total 542 Daerah Otonomi Baru (DOB) di Tanah Air sejak tahun 1999 hingga saat ini gagal dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan rakyat.

“Daerah pemekaran dinilai masih menjadi beban pemerintah pusat melalui dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) sesuai dengan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” kata Jhon Stefanus dalam resume rapat sinkronisasi daerah dalam rangka konsolidasi anggota DPD RI dengan Pemangku Kepentingan di NTT untuk percepatan pembangunan daerah yang sebelumnya digelar di Kupang, Minggu (23/8).

Jhon menerangkan, hasil penelitian yang dilakukan di 34 daerah, dimana 10 diantaranya merupakan DOB menunjukkan hasil cukup buruk. Sejauh ini, lanjut dia, hanya dua DOB yang nilainya berada di atas rata- rata nasional, yaitu Siak dan Lombok Utara. Sedangkan delapan daerah lainnya yakni Ternate, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Pinang, Pulau Pisau, Saluma, Bangka Selatan, Tangerang Selatan, dan Sigi berada di bawah rata- rata.

Dia menuturkan, dari hasil evaluasi dan penelitian memperlihatkan pembentukan DOB bermasalah. Hal ini terlihat dari belum berhasil menjelmakan tujuannya, karena pemberian-pemekaran DOB lebih bernuansa politik. DOB menjadi beban pemerintah pusat. “Tata kelola pemerintah di daerah tersebut masih buruk, mulai dari aspek kebijakan, penganggaran, pengawasan, kepemimpinan, pelayanan publik, pendapatan daerah, dan penegakan peraturan daerah.”

Menyikapi permasalahan itu, Jhon menawarkan agar perlu dilakukan penataan ulang desentralisasi yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan lokal. “Karakteristik khusus tersebut misalnya, daerah kepulauan, daerah perbatasan, kawasan rawan bencana, kawasan dengan keunikan budaya dan kesejarahan, daerah- daerah dengan keterbatasan kapasitas dalam pengelolaan fungsi dasar pemerintahan, dan daerah- daerah yang menyimpan konflik dengan nasional,” katanya.

Daerah- daerah dengan karakteristik tersebut, ujar dia uniformitas desain desentralisasi gagal menjadi kerangka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.

Sementara Anggota Komite I DPD Syafrudin Atasoge mengatakan, UU 23 Tahun 2014 dengan tegas mengamanatkan pembentukan DOB harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun katanya hasil evaluasi menunjukkan, hanya sekitar 20 persen DOB yang dinilai berhasil. Sedangkan selebihnya dinilai gagal dalam meningkatkan PAD dan kesejahteraan rakyat.

Dia menilai, meski hasil evaluasi menunjukkan mayoritas DOB dinilai gagal, tapi usulan pemekaran atau pembentukan DOB tetap diperjuangkan. Misalkan, di NTT sudah ada usulan pembentukan DOB kabupaten/kota seperti pembentukan Kota Maumere, Kabupaten Adonara, dan Kabupaten Pantar serta Amfoang di Kabupaten Kupang dan Amanatun di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Kita boleh tetap mengajukan usulan pembentukan DOB, tapi jangan sampai dnyatakan gagal dalam hasil evaluasi,” ujar Syafrudin.

Dia menambahkan, aturan yang berlaku sekarang terkait pembentukan DOB adalah sebelum ditetapkan menjadi daerah definitif, tiga tahun sebagai daerah persiapan. “Jika hasil evaluasi memperlihatkan, calon daerah pemekaran itu dinilai gagal, maka dikembalikan ke daerah induk. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sangat memungkinkan adanya penggabungan kembali daerah pemekaran.”

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu