Jakarta, Aktual.com — Pakar hukum pidana dari Universitas Riau Erdianto Effendi mengatakan, pengertian ujaran kebencian atau hate speech harus diperjelas agar tidak multitafsir.
“Yang perlu diingat adalah harus jelas mana yang menghina mana yang mengkritik. Mengkritik adalah HAM, menghina adalah tindak pidana. Perbedaannnya harus jelas, tegas dan konkret, tidak bisa multitafsir,” kata Erdianto di Pekanbaru, Jumat (13/11).
Dia mengatakan itu terkait upaya Polri mengantisipasi ujaran kebencian di masyarakat, sesuai Surat Edaran Kapolri No. SE/6X2015 tentang penanganan ujaran kebencian.
Menurut Erdianto, kebebasan menyampaikan pendapat dewasa ini memang terkesan lepas kendali, setelah sekian lama dibungkam di era Orde Baru. Apalagi, kebebasan menyampaikan pendapat itu didukung oleh fasilitas media sosial yang berkembang sedemikian cepatnya.
“Namun jika ditinjau dari aspek perwujudan HAM warga negara, kebebasan berpendapat termasuk di media sosial adalah HAM warga negara,” kata dia.
Hal ini, katanya lagi, merupakan salah satu hak yang paling didamba masyarakat di masa Orde Baru, sehingga lahir gerakan reformasi. Akan tetapi, pada sisi lain sebagai representasi negara Polri berkewajiban menjaga ketertiban masyarakat dan menegakkan hukum dalam kapasitas tugas dan tanggung jawabnya.
“Polri perlu arif dan bijaksana dalam menegakkan hukum yaitu demi menjaga ketertiban dan kedamaian hidup bersama. Jangan sampai karena perwujudan HAM ada HAM orang lain yang terlanggar,” katanya.
Dia menjelaskan, jika memang Polri dalam posisi menjaga ketertiban dan kedamaian serta kenyamanan hidup bersama, maka tidak salah jika Polri ingin menertibkan, namun jangan sampai dilakukan untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang.
“Polri adalah alat negara, di mana semua unsur golongan masyarakat berlindung kepadanya, bukan alat kepentingan politik tertentu,” katanya.
Menurut dia, Polri perlu menempuh dulu upaya preemptif, sosialisasi, teguran, baru tindakan, tidak langsung main tindak begitu saja. Juga perlu dijelaskan sampai batas mana kebebasan menyampaikan pendapat diizinkan.
“Sedangkan berdasarkan aspek HAM, dilihat dari norma yang dijunjung tinggi masyarakat Indonesia, adalah tepat jika hukum pidana masih melarang penghinaan terhadap individu, penyebaran kebencian atau penistaan terhadap kelompok masyarakat, suku, etnik, bahasa, budaya, ras, dan agama,” katanya.
Dia mengatakan pengaturan tentang ujaran kebencian diperlukan demi ketertiban dan dalam rangka membangun toleransi satu sama lain. Apalagi nilai moral masyarakat Indonesia menghendaki sesama manusia menjaga aib sesamanya dan saling menghormati keyakinan dan kebudayaan orang lain.
“Ini adalah fondasi utama kebhinnekaan Indonesia. Jika ini terabaikan, maka persatuan dan kesatuan bangsa terancam,” katanya.
Polri tentunya tidak bisa bekerja sendiri, harus melibatkan pihak lain khususnya masyarakat pengguna jejaring sosial. Pengguna jejaring sosial berkewajiban membantu dengan cara melaporkan penistaan kepada Polri.
Menurut dia, sebaiknya Polri lebih fokus kepada penistaan terhadap kelompok masyarakat daripada penistaan terhadap pribadi, apalagi penistaan terhadap agama masih dipertahankan dalam KUHP. “Jika tidak ada tindakan serius dari aparat yang berwenang, maka penistaan terhadap agama makin menjadi-jadi,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu