Jakarta, Aktual.com – Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pasal terkait penistaan agama harus tetap ada dalam tata hukum Indonesia. Hal itu merujuk pada Pasal 29 UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa negara kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya tersebut.
“Jadi bagi saya sangatlah aneh jika ada sekelompok orang mendesak Pemerintah dan DPR untuk mencabut ketentuan2 tentang penodaan atau penistaan agama, apalagi kegiatan2 seperti itu makin banyak terjadi akhir- akhir ini terutama melalui media sosial,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (17/5).
Dikatakan mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia itu menjelaskan bahwa agama mendapat kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita. Bahkan Pembukaan UUD 45 menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa dan negara kita ini terjadi berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Masih dikatakan dia, pasal-pasal penodaan agama bukan hanya ada di dalam Pasal 156 dan 156a KUHP saja, tetapi juga terdapat dalam pasal-pasal di UU Nomor 1 PNPS 1965 tentang Larangan Peyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Bahkan, terhadap UU Nomor 1 PNPS 1965 itu sudah pernah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibatalkan oleh sekelompok orang, termasuk Almarhum Gus Dur. Namun MK dalam Putusannya Nomor 140/PUU-VII/2009 menolak permohonan tersebut untuk seluruhnya.
“MK berpendapat sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya, di negara yang berdasar Pancasila, di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keberadaan agama wajib dilindungi dari setiap penyalahgunaan dan penodaan. Terhadap pelakunya dikenai pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHP,”papar dia.
Yusril juga menjelaskan bahwa ketentuan ketentuan pidana bagi penodaan atau penistaan terhadap ajaran sesuatu agama itu, umumnya juga berlaku di negara-negara sekuler. Di Perancis misalnya, seorang walikota dituntut ke pengadilan dengan dakwaan penodaan ajaran agama, begitu juga di Rusia dan di China juga begitu, padahal mereka negara Komunis.
“Mencabut berlakunya suatu norma undang-undang hanya dapat dilakukan dengan undang-undang atau dengan Perpu, yang tentu akhirnya memerlukan persetujuan DPR jika ingin dijadikan sebagai UU,” sebut dia.
“Kalau UU itu lahir, walau kecil kemungkinnya, namun mereka yang kontra dapat mengajukan yudicial review untuk membatalkan UU tersebut. Dalam keyakinan saya, MK berpotensi untuk menolak permohonan mereka yang selanjutnya akan mentapkan desain bangunannya,” pungkas mantan menteri sekertaris negara itu.
Laporan: Novrizal Sikumbang
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang
Andy Abdul Hamid