Jakarta, Aktual.com – Merekam pembicaraan suatu pertemuan dapat dilakukan, asal mendapatkan izin seluruh dari seluruh pihak yang hadir. Jika izin sudah didapat, barulah rekaman pembicaraan bisa disebut sebagai informasi elektronik.
Pendapat itu dilontarkan pakar hukum telematika Universitas Indonesia, Edmon Makarim saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang diajukan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Informasi elektronik dihasilkan oleh suatu sistem elektronik, sehingga dasar asumsi hukumnya adalah suatu informasi yang layak dipercaya karena berasal dari sistem yang layak dipercaya,” papar Edmon, sebagaimana tertuang dalam putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016, dikutip Sabtu (10/9).
Lebih jelas Edmon mengatakan, seseorang bisa dianggap telah melanggar hak privasi, jika dalam upaya merekam suatu pertemuan tidak didasarkan atas persetujuan seluruh pihak. Bahkan, sambung Edmon, sesuai dengan rezim intellectual property right, suatu hasil rekaman pertemuan adalah hak atau milik seluruh pihak yang hadir.
“Hal itu sudah diatur dalam UU ITE yang menyatakan bahwa seseorang dapat mengajukan gugatan karena pelanggaran privasi. Sesuatu yang direkam oleh orang lain tetap milik dari orang yang direkam atau dengan kata lain hak cipta tetap ada pada orang yang direkam,” tegasnya mantan Staf Ahli Bidang Hukum Departemen Komunikasi dan Informatika.
Seperti diketahui, gugatan Setnov tentang uji materi UU ITE dilakukan demi merespon penanganan kasus pemufakatan jahat dalam perpanjangan izin tambang Pt Freeport Indonesia (FI), yang diduga oleh Kejaksaan Agung dilakukan olehnya. Permohonan uji materi UU ITE itu ini pun dikabulkan seluruhnya oleh Majelis Hakim MK.
Dimana, salah satu putusan Majelis adalah suatu rekaman bisa dijadikan sebagai alat bukti, asal permintaan melakukan rekaman ini disampaikan atas permintaan penegak hukum baik itu Kejaksaan, Kepolisian ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebab, Majelis menilai bahwa frasa ‘Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronikā dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa ‘Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik’ sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” papar Majelis Hakim MK dalam putusannya. (M Zhacky K)
Artikel ini ditulis oleh: