Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjawab pertanyaan wartawan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/4). Gubernur DKI yang akrab disapa Ahok tersebut memenuhi panggilan KPK untuk dimintai keterangan terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Rumah Sakit Sumber Waras. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/kye/16

Yogyakarta, Aktual.com – Ahli hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr. Saifudin menilai dasar gugatan judicial review Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait aturan cuti kampanye, kurang kuat dan rancu.

“Tidak mungkin satu pasal dimohonkan oleh satu jabatan, sementara yang lain justru tidak merasa dirugikan,” ujar dia kepada Aktual.com di Yogyakarta, Selasa (23/8).

Pendapat itu dilontarkan Saifudin, lantaran yang terkena pasal wajib cuti seorang petahana dalam Pilkada tidak hanya Ahok seorang di Indonesia. Melainkan semua kepala daerah di Indonesia yang maju untuk mencalonkan kembali di pilkada.

Tutur dia, tujuan lahirnya UU Pilkada yang mewajibkan cuti bagi Kepala Daerah petahana yang akan mengikuti proses pilkada adalah menerjemahkan persamaan perlakuan dalam jaminan Hak Asasi Manusia. Bahwa semua warga negara diperlakukan rata di hadapan hukum dan pemerintahan.

“Agar setiap petahana tidak menggunakan fasilitas jabatannya baik langsung maupun tidak, karena tipis sekali kemungkinannya. Akan sangat tidak adil bagi peserta (Pilkada) yang non petahana,” kata dia.

Sambung Saifudin, unsur kerugian inkonstitusional seperti yang dipersoalkan Ahok memang bisa saja dipahami, apabila ada calon petahana lain juga ajukan gugatan. “Bukan oleh seorang (Ahok) saja,” ujar dia.

Alasan ‘Memelototi Anggaran’?

Menurut Saifudin, alasan Ahok menolak cuti lantaran ingin ingin ‘memelototin’ anggaran DKI dan mengontrol penggunaannya supaya tidak ‘bocor’, juga terbilang mengherankan. Sebab struktur Pemprov DKI sebagai sebuah organisasi tidak tergantung pada Ahok saja sebagai Gubernur.

“Rakyat juga selaku stakeholder bisa mengontrol anggaran karena ini negara demokrasi, pemerintahan DKI tetap bisa jalan kok,” kata dia.

Namun Saifudin juga mengatakan, memang dipersilahkan jika seorang Kepala Daerah merasa dirugikan oleh UU Pilkada untuk ajukan gugatan ke MK.

Tapi diingatkan pula, apapun putusan MK kelak bersifat final. Sehingga semua pihak harus tunduk sebagai penghormatan warga negara pada hukum. “Termasuk bagi Gubernur DKI yang kelihatannya tidak pernah salah itu,” sindirnya. (Nelson N)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis