Ia menjelaskan bahwa GDPR sendiri bertujuan agar warga Uni Eropa mempunyai kontrol akan data pribadinya sehingga di setiap layanan maupun aplikasi harus menyediakan fitur khusus untuk warga Uni Eropa agar mereka bisa mengecek, bahkan menghapus sendiri datanya.
Di Indonesia, lanjut Pratama, masih banyak penyimpangan. Data perbankan nasabah, misalnya, bisa diperjualbelikan. Meski beberapa kali ada pelaku yang ditangkap, bukan berarti masalah selesai.
“Masalah utamanya adalah belum adanya undang-undang terkait dengan perlindungan data pribadi. Undang-undang itu sekaligus memaksa semua entitas bisnis maupun negara untuk serius membangun sistem yang pro pada pengamanan data pribadi,” ujar Pratama.
Apalagi, lanjut Pratama, penggunaan data pribadi makin hari makin banyak. Dengan masifnya perkembangan teknologi, hampir seluruh layanan “online” atau daring memerlukan input data pribadi sebelum bisa digunakan, bahkan untuk layanan gim.
Beberapa negara, kata Pratama, menerapkan KYC (Know Your Customer) dalam transaksi “e-Commerce”. Hal ini memaksa pengguna dan pengusaha untuk menggunakan identitas asli dalam bertransaksi elektronik.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid