Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Tjandra Yoga Aditama. ANTARA/Dokumentasi pribadi

Jakarta, Aktual.com – Pakar kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama mengingatkan masyarakat untuk tak berbuka puasa dengan rokok,  mengingat selain kondisi tubuh relatif lemah usai berpuasa seharian, juga akan berdampak buruk bagi kesehatan.

“Sesudah kita berpuasa seharian maka tentu kita relatif agak lemah. Jadi, tentu sangat tidak baik kalau keadaan itu lalu diperburuk lagi dengan merokok untuk berbuka (puasa),” kata Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu saat dihubungi, di Jakarta, Selasa (19/3).

Dr. Tjandra menganjurkan agar masyarakat memilih untuk berbuka puasa dengan mengonsumsi makanan manis seperti kurma, kemudian makanan sehat dan bergizi, bukan dengan merokok.

Dia juga menekankan bahwa bulan Ramadan bisa menjadi kesempatan bagi seseorang untuk hidup tanpa rokok.

Selama berpuasa, katanya lagi, seseorang dapat melakukan aktivitas tanpa merokok mulai dari pagi hingga sore, dan ini bisa diterapkan hingga malam hari, membantu untuk berhenti merokok.

“Artinya, puasa Ramadhan ini kita dapat momentum hidup sehat tanpa rokok dan karena rokok merusak kesehatan maka kita dapat momentum juga menjauhi kebiasaan buruk yang merugikan kesehatan,” kata Tjandra yang menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI itu.

Dia juga mengakui bahwa menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta, ketika nikotin dari rokok masuk ke dalam tubuh dalam keadaan perut kosong, risiko kanker paru-paru meningkat.

Nikotin dapat bertahan dalam tubuh hingga delapan jam, dan semakin sering seseorang merokok, semakin banyak endapan nikotin dalam tubuh, meningkatkan risiko penyakit jantung.

Selain itu, merokok setelah berbuka puasa juga dapat menyebabkan kelelahan, mual, muntah, serta menurunkan fungsi jantung dan otot karena kekurangan oksigen.

Merokok juga dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan lainnya, termasuk penyakit paru kronis, kerusakan gigi dan bau mulut, stroke, serangan jantung, hingga risiko kanker leher rahim dan keguguran pada wanita serta kerontokan rambut.

Sementara itu, berdasarkan hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey-GATS) yang dilakukan pada tahun 2011 dan diulang pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan mencatat peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa aktif dalam 10 tahun terakhir sebanyak 8,8 juta orang.

Survei tersebut, yang melibatkan 9.156 responden, menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif pada tahun 2011 sebanyak 60,3 juta orang, meningkat menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.

Selain itu, hasil survei GATS juga menunjukkan adanya peningkatan prevalensi penggunaan rokok elektronik hingga 10 kali lipat, dari 0,3 persen pada tahun 2011 menjadi 3 persen pada tahun 2021.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan