Jakarta, Aktual.co — Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB Prof Euis Sunarti mengatakan budaya keselamatan (safety culture) terhadap bencana di masyarakat Indonesia masih rendah, menyebabkan terjadinya resiko serta kelentingan keluarga.
“Budaya mengamankankan diri dari bencana masyarakat rendah, paradigma masyaraat terhadap bencana harus diubah,” katanya, Jumat (5/6).
Ia mengatakan banyak kasus yang terjadi seperti longsor di wilayah Puncak, masyarakat mengetahui di lokasi tersebut memiliki kerawanan bencana, rumahnya berada di pinggir tebing, tetapi masyarakatnya tidak bertindak.
“Kejadian longsor di Pengalengan, sebenarnya sudah ada informasi akan terjadi bencana, tetapi masyarakat kenapa tidak ada yang bertindak,” katanya.
Menurut Prof Euis yang juga Kepala Pusat Studi Bencana-IPB, perlu ada upaya penyadaran kepada masyarakat terhadap bencana dengan menumbuhkan budaya keselamatan (sefety culture) mengingat Indonesia merupakan laboratorium bencana.
Posisi Indonesia yang terletak di jalur Vulkanik (ring of fire) juga berada di kerak bumi yang aktif dimana tiga hingga lima patahan lempeng bumi bertemu bertumbukan dan menyebabkan pergerakan wialayah yang dinamis.
“Hasil analisis resiko bencana menunjukkan besarnya wilayah Indonesia yang dikategorikan beresiko tinggi terhadap beberapa jenis bencana, sehingga otomatis menunjukkan besarnya keluarga yang rentan terkena bencana,” ujarnya.
Ia mengatakan ada tujuh jenis bencana di Indonesia dan persentase luas wilayah yang beresiko yakni gempa bumi ada 51,53 persen wilayah yang beresiko meliputi Sumatera, Jawa dan NTT, tsunami 15,57 persen (Jawa, Sumatera, Sulawesi), gunung api 26,75 persen (Sumatera, Sulawesi, Jawa), longsor 39,9 persen (Sumatera, Sulawesi, Jawa), kekeringan 39,9 persen (Jawa, Sumatera), banjir 38,2 persen (Jawa, Sumatera, Kalimantan), dan erosi 42,6 persen (Jawa, Sulawesi, Sumatera).
Dikatakannya, penting membangun ketangguhan keluarga dan masyarakat dalam menghadapi bencana, karena besarnya gangguan bencana (alam dan sosial) yang mempengaruhi kualitas keluarga dan individu.
“Keluarga miskin dan tidak sejahtera menanggung nilai kerusakan dengan persentase yang lebih besar dan dengan kemampuan pemulihan yang rendah serta lama,” katanya.
Menurutnya, bencana selain mengganggu pencapaian kesejahteraan (bahkan berpotensi memiskinkan) juga mengganggu fungsi ekspresi keluarga. Seperti kasus Gempa Bumi Jawa Barat 2 September 2009. Dampak bencana menimbulkan masalah fisik (kerusakan rumah dan tempat usaha) dan masalah psikososial (stress, trauma, sedih, takut dan cemas).
“Dan waktu untuk memulihkan kondisi ini membutuhkan waktu satu tahun. Untuk itu perlu program rehab rekon pasca bencana berkelanjutan,” katanya.
Prof Euis menyatakan keluarga korban bencana membutuhkan bantuan yang tepat dan cepat agar tidak mengalami kenelangsaan dan keterpurukan, juga gangguan berkelanjutan. Ini terkait dengan efektivitas penanganan tanggap darurat bencana. Ketidaktepatan pada fase tersebut dapat menyebabkan konflik vertikal maupun horizontal, merusak kepercayaan dan modal sosial masyarakat.
“Efektivitas penanganan tanggap darurat bencana dan pasca bencana berkaitan dengan upaya pengurangan resiko bencana. Oleh karenanya hal mendesak dilakukannya pengintegrasian atau koherensi pengurangan resiko dengan program pembangunan untuk mencapai SDGs,” katanya.
Pembahasan mengenai “safety culture” atau kewaspadaan bencana di masyarakat akan disampaikan oleh Prof Euis Sunarti dalam orasi ilmiah guru besar IPB dengan judul “Resiko dan Kelentingan Keluarga” pada Sabtu mendatang di kampus IPB.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid