Jakarta, Aktual.co — Dalam kurun waktu dua bulan, terhitung dari Januari hingga Februari 2015, Pertamina mengaku mengalami kerugian hingga 212 juta dolar AS atau mencapai Rp 2,7 triliun. Penyebab utamanya, dikarenakan meruginya bisnis hilir yang mencapai 368 juta USD.
Menilik hal tersebut, pengamat hukum bisnis dari Universitas Islam Indonesia (UII) Ridwan Khairandy mengatakan, jika kerugian kerugian Pertamina dari sektor hilirnya mencapai 386 juta dollar AS, maka hal tersebut harus ada pihak yang bertanggung jawab.
“Kalau misalnya dari hal tersebut, berarti bisa ada yang bertanggung jawab, termasuk jabatan direksi. Dari situ bisa masuk, ditanyakan dulu. Apa penyebab dari kerugian itu,” kata Ridwan ketika berbincang dengan Aktual.co, Kamis (23/4).
Tak hanya itu, sambung dia, seharusnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa masuk untuk mengaudit kerugian pertamina, meski ada perbedaan Undang-undang dengan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Dalam hal ini jelas, bisa masuk meski ada pertentangan soal Undang-undang. Sebab dalam UU BPK berhak mengaudit keuangan negara,” kata dia.
Begitu pula, sambung dia, penegak hukum dalam hal ini Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menindaklanjuti temuan kerugian yang dialami Pertamina selama dua bulan berturut-turut itu. “Sangat bisa, tunggu saja dari laporan.”
Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto menyatakan, baru dua bulan, yakni Januari-Februari 2015 PT Pertamina (Persero) sudah mencetak kerugian hingga 212 juta dollar AS.
“Laba bersih Januari 2015 adalah minus 107 juta dollar AS, dan laba bersih Februari 2015 adalah minus 105 juta dollar AS. Jadi, dua bulan total laba bersih minus 212 juta dollar AS,” kata dia, Selasa (7/4).
Dwi melaporkan, sektor hulu masih mencetak laba besih 130 juta dollar AS, sektor energi baru terbarukan mencetak laba bersih 40,9 juta dollar AS, dan sektor lainnya masih untung 2,5 juta dollar AS, tapi kerugian Pertamina di sektor hilirnya mencapai 386 juta dollar AS.
Dwi menuturkan, kerugian Pertamina juga disebabkan adanya efek beban inventory. Adapun realisasi pendapatan Pertamina pada hingga Februari 2015 mencapai 6,864 miliar dollar AS.
“Kalau dilihat target pendapatan di RKA sebesar 49 miliar dollar AS. Target ini lebih rendah dari realisasi 2014, karena harga jual yang lebih rendah.” Sepanjang 2014 lalu, Pertamina berhasil membukukan pendapatan mencapai 71,1 miliar dollar AS.
Analis Ekonomi AEPI (Asosiasi Ekonomi-Politik Indonesia), Kusfiardi menilai, kondisi yang dialami Pertamina ini melanggar amanat undang-undang (UU). Pasalnya, sesuai dengan amanat UU Perseroan yakni Badan Usaha Plat Merah harus bisa meraup keuntungan.
Dia pun menyarankan agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turun tangan mengaudit kerugian tersebut. Ini agar para penegak hukum bisa turun tangan menelusuri permasalahan tersebut.
Laporan: Wisnu Jusep
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby













