Penyidik KPK Novel Baswedan (kanan) dan Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak (kiri) memberikan keterangan pers usai menggelar pertemuan di Gedung Komisi Kejaksan, Jakarta, Kamis (2/7/2020). Komisi Kejaksan meminta keterangan Novel Baswedan sebagai tindak lanjut laporan pengaduan masyarakat mengenai kejanggalan tuntutan jaksa penuntut umum dalam persidangan perkara penyiraman air keras yang menimpa penyidik KPK tersebut dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

Jakarta, Aktual.com – Langkah tim advokasi Novel Baswedan melaporkan mantan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Irjen. Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri dianggap sebagai bentuk upaya menghina peradilan.

Sebab, laporan tersebut dilakukan saat proses persidangan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan itu masih berjalan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran I Gde Pantja Astawa berpendapat, tindakan tim advokasi itu dapat dikategorikan intervensi terhadap peradilan.

“Proses persidangan kasus Novel masih berlangsung dan dilakukan secara terbuka untuk umum (openbaar), maka untuk menjaga keberlangsungan fair trial, segala bentuk intervensi dgn membangun public opinion lewat Laporan Tim Advokasi ke Divpropam Polri yang viral di medsos, adalah tindakan yang dilarang oleh UU dan potensial terjadinya ‘contempt of court’,” kata Pantja kepada wartawan, Kamis (9/7).

Pada Selasa (7/7), Tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri karena dinilai melanggar etik profesi. Rudy diduga menghilangkan barang bukti di kasus penyiraman air keras.

Rudy Heriyanto yang kini menjabat sebagai Kepala Divisi Hukum Polri, merupakan bagian dari tim penyidik yang menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel. Saat itu dia berpangkat komisaris besar (kombes) dan menduduki posisi sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Pantja juga menilai laporan Tim Advokasi Novel Baswedan merupakan laporan yang tendensius dan sulit menghindari kesan “to be a malice” terhadap terlapor. Kata dia, berangkat dari ‘Integrated criminal justice system’, maka perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan telah melalui sejumlah tahap.

“Sebelum masuk ke tahap persidangan, sebagaimana yang kini tengah berlangsung, diawali dengan tahapan penyelidikan, bahkan sampai dibentuknya TGPF, kemudian lanjut ke penyidikan, dan setelah P 21 masuk ke tahap penuntutan sampai dengan kini masuk ke tahap persidangan,” katanya.

Jadi, menurutnya, ratio legis dari semua tahapan itu mengandung arti bahwa semua bukti dinilai cukup dan lengkap (P 21) untuk diajukan ke persidangan sebagai dasar untuk mem-back up dakwaan terhadap (para) Terdakwa.

“Lalu di mana logikanya tuduhan Tim Advokasi Novel bahwa mantan Direskrimum Polda Metro Jaya menghilangkan barang bukti?” tanya Pantja.

Selain itu, menurut Pantja, seharusnya tim advokasi membuktikan seluruh tuduhan terhdapa Rudy di pengadilan.

“Pengadilan-lah forum yang tepat dan elegan untuk membuktikan segala tuduhan atau prejudice Tim Advokasi yang menuduh menghilangkan barang bukti, bukan dengan melapor ke Divisi Propam Polri sehingga viral di medsos,” katanya.

Pantja mengingatkan bahwa Laporan Tim Advokasi Novel yang tendensius serta dengan jelas dan terang-terangan menyebut nama dan jabatan Terlapor merupakan pembunuhan karakter (character assassination) dan pencemaran nama baik. (FSB)