Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penggeledahan di salah satu rumah tersangka teroris di Indramayu, Jawa Barat, Selasa (26/1). Dalam penggeledahan di kedua rumah tersangka teroris AH dan WF, Tim Densus 88 menemukan barang bukti milik tersangka yang diduga terkait dengan bom Thamrin. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/aww/16.

Yogyakarta, Aktual.com – Oknum Anggota Densus 88 semakin kuat diduga melakukan tindakan penganiayaan yang menyebabkan kematian Siyono. Pendapat itu disampaikan Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta, Prof Mudzakkir menanggapi dua catatan penting pasca pengumuman hasil otopsi jenazah Siyono.

Yakni ditemukan adanya trauma di bagian dada dengan beberapa tulang rusuk patah. Serta tidak ditemukannya luka atau memar di tangan, hingga disimpulkan tidak ada perlawanan dari korban terhadap pelaku penganiayaan.

“Kalau melihat sebegitu parahnya kondisi jenazah, saya kira justru ngga mungkin pelakunya satu orang. Mesti ada beberapa orang,” tutur dia, kepada Aktual.com, di Yogyakarta, Selasa (12/4) .

Menurut dia, sudah seharusnya kasus ini dibawa ke ranah hukum. Apapun alasan kepolisian, penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kematian seseorang oleh aparat, harus diganjar sanksi setimpal atau harusnya lebih berat. Karena aparat semestinya memberi jaminan perlindungan hukum.

“Ini namanya ‘faktor pemberat pidana’, karena dia (Densus 88) adalah aparat penegak hukum. Terlepas rakyat itu disangka melakukan tindak pidana atau tidak, tetap mereka harus dilindungi,” imbuhnya.

Jika mengacu Pasal 354 KUHP Ayat 1, pelaku bisa dipidana hingga 8 tahun. Di Ayat 2, disebutkan jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara maksimal 10 tahun. Kemudian, dapat disertakan ‘delik penyertaan’ yang diatur dalam pasal 55 ayat 1 KUHP, jika pelaku penganiayaan terbukti lebih dari satu orang.

“Lihat saja, kalau dia bertindak atas perintah atasannya maka dia dan atasannya juga harus bertanggung jawab,” ujar Mudzakkir.

Mudzakkir mencontohkan kasus penganiyaan yang dilakukan anggota polisi di Polsekta Bukittinggi, Polda Sumbar. Yang menganiaya seorang terduga pencuri motor. Pada tingkat kasasi, MA melalui Putusan No. 2638 K/Pdt/2014 juga tidak membenarkan alasan permohonan kasasi yang diajukan (Polri). MA menilai judex facti PN Bukittinggi sudah tepat dan benar dalam menerapkan hukum.

Kasus tersebut, ujar dia, mengartikan bahwa siapapun yang melakukan tindakan kekerasan harus ditindak, dan jika  mematikan orang harus dipidanakan. “Polisi harusnya malu lah, ga usah move macem-macem dengan pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif, biar ga dianggap sengaja menyebarkan berita bohong,” ucap dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis