Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin menegaskan rencana Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk pejabat Polri sebagai pelaksana tugas gubernur harus dibatalkan, karena bertentangan dengan undang-undang. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin menegaskan rencana Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk pejabat Polri sebagai pelaksana tugas gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara harus dibatalkan, karena bertentangan dengan undang-undang.

“Rencana menempatkan pejabat Polri sesungguhnya bertentangan dengan UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam Pasal 201 Ayat (10) UU Pilkada menyatakan untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, karena itu harus dibatalkan,” kata Irmanputra di Jakarta, Senin (29/1).

Kemudian, dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri No. 11 Tahun 2018 menyatakan penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi.

“Adanya penambahan norma setingkat dalam Permendagri No. 11 Tahun 2018 yang menjadi dasar Mendagri mengusulkan pati Polri menjadi plt gubernur adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 201 ayat (1) UU Pilkada cq UUD 1945, karena intensi konstitusi sudah sesuai dengan UU Pilkada yaitu bahwa yang dapat menduduki penjabat gubernur, hanya orang yang telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tidak boleh kepada orang yang menduduki jabatan setingkat karena hal ini bisa menyeret institusi Polri dan TNI menyalahi konstitusi, karena konstitusi sudah memberikan batasan tegas peran dan otoritas institusi Polri dan TNI yaitu menjaga kedaulatan negara, kemananan, ketertiban serta penegakan hukum (Pasal 30 UUD 1945),” katanya.

Menurut Irmanputra, pimpinan tinggi madya yang dimaksud adalah dikenal dalam rezim jabatan aparatur sipil negara (Pasal 19 UU ASN). Dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8 UU ASN disebutkan bahwa jabatan pimpinan tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah dan pejabat pimpinan tinggi adalah pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.

“Artinya bahwa hanya orang yang berada dalam jabatan ASN saja yang tergolong pimpinan tinggi madya yang dapat menjadi plt gubernur. Pertanyaaanya dapatkah anggota Polri dan TNI menduduki jabatan dalam jabatan ASN,” kata Irmanputra.

Sementara pengisian jabatan ASN oleh anggota Polri diatur dalam 20 UU ASN yang berbunyi: a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Oleh karenanya, terkait dengan Jabatan ASN yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah sebatas jabatan ASN tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017, Pasal 147 dinyatakan jabatan ASN tertentu di lingkungan instansi pusat tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.” kata Irmanputra.

Selanjutnya dalam Pasal 148 ayat (2) dikatakan bahwa jabatan ASN tertentu Sebagaimana Dimaksud Pada ayat (1) berada di instansi pusat dan sesuai dengan UU TNI dan UU Polri.

Artinya, jabatan ASN tertentu yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah hanya berada di instansi pusat. Oleh karenanya artinya perwira Polri yang dapat menjadi penjabat gubernur, harus terlebih dahulu telah menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat, bukan jabatan setingkat yang bisa dicaplok secara langsung dari Polri, karena jabatan setingkat tidak dibolehkan oleh UU cq konstitusi.

“Oleh karenanya bahwa rencana penunjukan pati Polri yang sedang menduduki jabatan di Kepolisian Negara RI yang tidak tergolong jabatan pimpinan tinggi madya seperti dimaksud UU Pilkada cq UU ASN adalah inkonstitusional,” katanya.

Oleh karenanya, tambah Irmanputra, rencana itu harus dibatalkan dan perlu diingat bahwa jantung konstitusi dan refomasi adalah berada pada Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian 2002 bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Perlu juga dicermati bahwa jika kemudian Kemendagri memudahkan anggota Polri untuk dijadikan personel pemerintahan, maka hal ini jangan sampai akan menjadi eskalasi metamorfosa Polri akan dijadikan institusi di bawah Kemendagri, tentunya ini bertentangan dengan konstitusi. (ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka