Yogyakarta, Aktual.com – Potensi konflik dan kekerasan pascapelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 2015 perlu diwaspadai, kata pakar hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Jawahir Thontowi.
“Pemerintah, penyelenggara pilkada, dan aparat kepolisian diharapkan memiliki tingkat kewaspadaan tinggi untuk mencegah terjadinya bentrokan pascapelaksanaan pilkada serentak,” katanya di Yogyakarta, Selasa (8/12).
Menurut dia, pilkada serentak yang akan dilaksanakan di 263 provinsi, kota, dan kabupaten seluruh Indonesia pada 9 Desember 2015 itu merupakan hal baru, karena sebelumnya diadakan secara terpisah menurut daerah setempat.
Meskipun memunculkan optimisme untuk semakin meningkatkan kematangan demokrasi di Indonesia, kata dia, potensi konflik dan kekerasan perlu diwaspadai oleh penyelenggara pilkada dan aparat kepolisian.
“Hal itu penting agar gelaran pilkada serentak berjalan dengan tertib, demokratis, dan mampu memunculkan sosok pemimpin yang berkualitas,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Ia mengatakan potensi kekerasan dapat muncul manakala terjadi ketidakpuasan salah satu calon terhadap hasil pilkada. Calon tersebut dapat menggerakkan massa pendukungnya untuk melampiaskan kekecewaan atas hasil pilkada yang tidak sesuai dengan harapan kelompoknya.
“Faktor lain mengapa potensi kekerasan semakin rawan adalah, pilkada serentak ini mempertemukan para calon yang secara ‘background’ berasal dari keluarga, suku, ras atau agama yang sama dan berbeda dalam satu persaingan politik yang sengit,” katanya.
Menurut dia, ikatan-ikatan primordial semacam itu masih sangat kuat pengaruhnya di daerah. Hal itu rawan menimbulkan gesekan antarkelompok suku, agama maupun ras yang dilatarbelakangi oleh persaingan politik.
“Secara khusus, kawasan Indonesia timur perlu mendapat perhatian, karena secara historis kawasan ini memiliki tingkat sensitivitas tinggi terhadap isu ras, suku, dan agama yang dilatarbelakangi oleh kepentingan politik elit setempat,” katanya.
Ia mengatakan strategi agar pelaksanaan pilkada serentak tetap sesuai koridor hukum yang berlaku diantaranya selalu melibatkan elit lokal, tokoh masyarakat, dan agamawan untuk bersama-sama menjaga gelaran pilkada yang kondusif dan tanpa kekerasan.
“Apabila ada sengketa, hendaknya selalu mengedepankan proses musyawarah mufakat sebagai basis penyelesaian sengketa. Jika tidak berhasil, sengketa dapat dibawa ke badan penyelesaian sengketa pilkada yang ada di tingkat pusat,” katanya.
Menurut Jawahir yang juga Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), jika terjadi pelanggaran pilkada dapat diselesaikan oleh pengadilan pidana.
“Dengan mekanisme itu, potensi konflik dan kekerasan pilkada serentak dapat ditekan seminimal mungkin sehingga menghasilkan proses demokrasi yang lebih baik,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: