Dari ke Kanan, Ketua PP Muhammadiah Busyro Muqoddas, Akademisi Hukum STHI Jentera Bivitri Susanti saat memberikan keterangan pers di Jakarta. Selasa (30/1). Dalam keterangan pers tersebut Ketua PP Muhammadiah yang juga mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas mengatakan prilaku Ketua Mahkamah Konstitusi Arif Hidayat yang menolak mundur dari jabatnnya sebagai hakim Konstitusi sangat di sayangkan, dikarenakan sudah tidak pantas lagi menyandang tugas sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua MK. Busyro mendesak Arif Hidayat mundur dari jabatannya. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Pengamat sekaligus pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai bahwa Presiden Joko Widodo tidak bisa dimakzulkan hanya karena menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu).

“Itu keliru dari aspek hukum tata negara, karena Perppu itu sendiri konstitusional,” ujar Bivitri di Jakarta, Jumat (4/10).

Bivitri menjelaskan penerbitan Perpu telah diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, sehingga bila dilakukan tidak akan berdampak secara hukum.

Terlebih, beberapa Presiden Indonesia juga pernah menerbitkan Perpu, termasuk Jokowi. Bivitri mencatat setidaknya Jokowi telah dua kali menerbitkan Perpu, yakni Perpu organisasi massa (ormas) dan kebiri.

Jokowi menandatangani Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat pada 10 Juli 2017.

Sebelumnya, pada 25 Mei 2016 Jokowi juga telah menandatangani Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang turut mengatur mengenai hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

“Jadi intinya ini biasa saja, hanya Presiden secara subjektif mau menimbang tentang situasi-situasi yang berkembang sehingga dia mau mengeluarkan Perpu, maka silahkan dikeluarkan lalu kemudian dinilai DPR,” ucap dia.

Adapun pemakzulan terhadap Presiden telah diatur dalam pasal 7A UUD 1945. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Presiden bisa diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bila terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Bivitri mengatakan pelanggaran hukum yang dimaksud yakni pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.

“Dan itu pun tidak mudah, harus di bawa dulu ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan