Jakarta, Aktual.com — Pakar gizi Prof dr Siti Fatimah Muis SpG (K) mengatakan pencegahan “stunting” atau anak bertubuh pendek karena kekurangan gizi bisa dilakukan sejak anak dalam kandungan.
“Saat ini kasus ‘stunting’ masih tinggi di Indonesia. Problemnya kekurangan gizi berkepanjangan,” kata mantan Ketua Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) Jateng di Semarang, Sabtu (4/6).
Hal itu diungkapkannya usai kegiatan “parenting class” bertema “Pentingnya Nutrisi Bagi Perkembangan Otak Janin dan Kecerdasan Anak” yang diselenggarakan oleh RSIA Kusuma Pradja Semarang.
Menurut dia, parameter pencegahan “stunting” sebenarnya bisa dilihat saat ibu hamil karena kondisi janin di perut membutuhkan pemenuhan gizi optimal hingga 1.000 hari sejak kehidupan pertama.
Artinya, kata mantan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia (PDGKI) Jateng itu, sejak dalam kandungan hingga anak berusia 2-2,5 tahun harus benar-benar dijaga pemenuhan gizinya.
“Penjagaan gizi yang baik selama kehamilan bisa mencegah dan menghilangkan generasi ‘stunting’. Di Brazil dan Thailand, generasi ‘stunting’ sudah hilang sejak 5-10 tahun yang lalu,” katanya.
Ibu hamil, kata dia, idealnya mengalami pertambahan berat badan antara 12-14 kilogram dan bayi yang lahir berat idealnya di atas 2,5 kg sehingga jika tidak terpenuhi harus segera berkonsultasi.
“Pemenuhan gizi selama kehamilan membantu pembentukan ‘networking’ otak secara baik. Setelah anak lahir hingga usia 2-2,5 tahun, gizi berperan mengembangkan jaringan otak lebih sempurna,” katanya.
Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif, lanjut dia, wajib diberikan minimal sampai bayi berusia enam bulan, tetapi banyaknya ibu yang bekerja terkadang melupakan pemberian ASI eksklusif.
Padahal, kata dia, ibu yang bekerja atau berkarier tetap bisa memberikan ASI-nya secara eksklusif dengan banyak cara, di antaranya memerah ASI di tempat kerja dan memberikannya ketika pulang kerja.
“Di atas usia enam bulan, pemberian ASI bisa diteruskan sampai anak berusia dua tahun sesuai anjuran WHO. Akan tetapi, perlu diberikan makanan tambahan. Boleh juga diberikan susu formula,” katanya.
Fatimah yang juga Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) RSIA Kusuma Pradja Semarang mengakui salah satu kendala mengatasi “stunting” di Indonesia adalah kurangnya pendidikan dan faktor ekonomi.
“Terutama masyarakat dari kelompok ekonomi terbatas. Mereka tidak banyak memberikan makanan tambahan kepada anak, utamanya yang mengandung protein dan lemak, padahal ini penting,” tegasnya.
Selain itu, ia juga mengakui masih adanya persepsi di masyarakat jika anak pendek dipengaruhi faktor keturunan dari orang tua, padahal perkembangan tubuhnya bisa dioptimalkan dengan pemenuhan gizi.
“Di masyarakat ada anggapan orang tua yang bertubuh pendek wajar jika anaknya juga pendek. ‘Stunting’ ini bukan diturunkan, tetapi anggapan ini yang membuatnya seolah-olah diturunkan,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka