Jakarta, Aktual.com – Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid menilai langkah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah tidak memenuhi syarat materil konstitusional, sehingga Presiden Joko Widodo tidak dapat menggunakan kewenangan eksklusifnya dalam mengeluarkan regulasi mendesak ini.
“Presiden tidak dapat menggunakan kewenangan eksklusifnya berdasarkan pasal 22 UUD 1945 dalam mengeluarkan regulasi mendesak Noodverordeningsrecht sebab tidak sejalan dengan prinsip state emergency,” kata Fahri dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (7/10).
Hal ini diungkapkan menanggapi beberapa pihak yang telah mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu KPK karena menilai UU KPK hasil revisi telah melemahkan lembaga antirasuah ini.
Menurut Fahri, Presiden dapat menerbitkan Perppu apabila ada keadaan darurat. Dia menjelaskan bahwa keadaan darurat atau state of emergency secara konseptual keadaan darurat didasarkan atas doktrin, yaitu untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan integritas negara.
Menurut Fahri, secara konstitusional pranata penetapan Perppu adalah berdasar pada tahapan terjadinya keadaan yang genting, memaksa presiden untuk mengambil tindakan secepatnya, sebab jika peraturan yang diperlukan untuk menangani situasi genting seperti itu menunggu mekanisme yang lazim pada DPR memerlukan waktu panjang.
Fahri juga menjelaskan bahwa Presiden diberi kewenangan konstitusional untuk menerbitkan Perppu dalam situasi yang demikian, namun ketentuan pasal 22 UUD 1945 hanya menekankan pada anasir-anasir kegentingan yang memaksa.
Fahri mengatakan berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi “ratio decidendi” dalam putusan nomor :138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010 ada tiga syarat konstitusional sebagai ukuran keadaan “Kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu.
Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai dan ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dia menjelaskan bahwa MK berpendapat bahwa pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh ketentuan pasal 12 UUD 1945, bahwa memang benar keadaan bahaya sebagaimana dimaksud dalam norma pasal 12 dapat menyebabkan proses pembentukan UU secara biasa tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh rezim ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Fahri menjelaskan instrumen pembentukan Perppu memang di tangan presiden dan berdasar pada penilaian subjektifnya, namun bukan berarti hal tersebut bahwa secara absolut merupakan suatu kewenangan tanpa batasan ‘retriksi yuridis’.
Tapi penilaian subjektif presiden sebagai ‘head of state’ mutlak didasarkan kepada keadaan objektif dengan batasan konstitusional, yaitu pada tiga syarat sebagai parameter adanya keadaan kegentingan yang memaksa sebagaimana telah ditentukan oleh putusan MK, katanya.
Artinya, Fahri menjelaskan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan presiden untuk mengeluarkan Perppu agar lebih didasarkan pada kondisi objektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsiderans menimbang dari Perppu yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan pada pertimbangan ‘imajiner’.
Dengan demikian, kata Fahri, maka pertanyaan hipotetis yang dapat diajukan dalam konteks desakan pihak-pihak tertentu saat ini kepada presiden untuk mengeluarkan Perppu terhadap hasil revisi UU No. 30/2002 tentang KPK merupakan sebuah kebutuhan hukum yang mempunyai derajat serta sifat kemendesakan sehingga dapat dikualifisir sebagai syarat materil kegentingan yang memaksa dan apakah kondisi saat ini telah sejalan dengan jiwa Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 yang menegaskan tiga syarat konstitusional untuk presiden mengeluarkan Perppu.
Dia mengatakan langkah yang paling elok dan tepat adalah mengajukan upaya konstitusional dengan judicial review atas UU KPK yang baru disahkan itu ke MK.
Jika nanti UU itu telah diundangkan dalam lembaran negara sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan presiden hendaknya menunggu putusan MK atas uji meteril itu agar semuanya menjadi jelas dan tertib dalam tatanan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dan demi tegaknya demokrasi konstitusional yang kita anut, katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan