Jakarta, Aktual.com – Kenaikan harga cabai di pasaran yang jauh melampaui harga daging sapi jelas sangat mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Bagi sebagian rumah tangga, cabai menjadi kebutuhan yang inelastis.
Artinya, jika terjadi kenaikan harga, rumah tangga cenderung tidak akan menurunkan permintaannya. Ini kemudian berdampak negatif terhadap pendapatan. Masyarakat terpaksa membayar lebih tinggi karena sulit untuk mendapatkan komoditas pengganti atau substitusi.
Demikian disampaikan Pakar Kebijakan Pangan dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijan Universitas Gadjah Mada, Evita Hanie Pangaribowo, dalam keterangannya, Sabtu (14/1).
“Bagi sebagian lagi, cabai bisa jadi komoditas yang elastis. Adanya kenaikan harga membuat mereka mengurangi hingga meniadakan konsumsi cabai. Ini utamanya terjadi pada rumah tangga miskin,” katanya.
Berangkat dari kasus melambungnya harga cabai, bagi Evita, pemerintah perlu menjaga betul harga pangan sehingga inflasi tidak tinggi dan daya beli masyarakat tidak terganggu.
Terlebih, di waktu yang hampir bersamaan, sejumlah harga-harga yang diatur oleh pemerintah seperti tarif listrik, bahan bakar minyak, cukai rokok, hingga biaya administrasi surat kendaraan bermotor juga mengalami kenaikan.
“Kenaikan harga memungkinkan bertambahnya jumlah orang miskin. Mereka yang sebelumnya tergolong tidak miskin namun rentan, bisa turun menjadi kategori miskin karena daya belinya berkurang,” jelas Evita.
Ia mengingatkan, satu hal yang perlu diwaspadai pula adalah consumption smoothing. Rumah tangga terpaksa mengurangi bahkan memilih untuk tidak mengkonsumsi kebutuhan pangan yang penting bagi kesehatan mereka.
“Dampaknya bisa panjang karena mempengaruhi status gizi. Misalnya seorang anak yang seharusnya dalam seribu hari kehidupan mendapatkan asupan nutrisi yang cukup, terpaksanya tidak terpenuhi karena daya beli orang tuanya yang rendah,” demikian Evita Hanie.
Artikel ini ditulis oleh: