Jakarta, Aktual.com — Dalam menyelesaikan masalah perekonomian, pemerintah akhirnya mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi. Namun sayangnya dalam paket turunannya, Pemerintah akan merevisi Perpres dan memberi kelonggaran dibukanya gerai-gerai ritel di daerah.

Kebijakan ini dinilai terlalu pro terhadap pemilik modal besar, sedangkan efek yang ditimbulkan pada pedagang kecil kurang diperhitungkan. Demikian disampaikan Ketua Bidang Organisasi Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI).

“Jika kita lihat kembali ke pokok permasalahan, Paket Kebijakan Ekonomi kan dibuat untuk mendorong penguatan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah. Pendirian minimarket di Indonesia didominasi sistem waralaba. Sayangnya, perkembangan bisnis waralaba yang banyak dikuasai oleh pemodal besar justru menghasilkan persaingan yang kurang sehat bagi pedagang kecil,” kata Angga dalam siaran pers, Selasa (22/9).

Menurut Angga, persaingan antara pasar modern dan pasar tradisional memang semakin marak terjadi. Hasil survei AC Neilsen, pada tahun 2013 jumlah pasar rakyat di Indonesia terus mengalami penurunan.

“Pada tahun 2007 jumlahnya sekitar 13.550, menurun di tahun 2009 menjadi 13.450, hingga di tahun 2011 tinggal 9.950. Sedangkan untuk perbandingan antara pertumbuhan pasar rakyat dengan pasar modern adalah minus 8,1% dan 31,4%,” jelas Angga.

Berdasarkan data tahun 2011, sebanyak 12,5% penduduk Indonesia berprofesi sebagai pedagang pasar rakyat, atau setara dengan 30 juta jiwa. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, maka mata pencaharian rakyat kecil akan semakin berkurang.

Untuk itu, Angga menyarankan bahwa Pemerintah untuk mengkaji ulang rencana pelonggaran izin mendirikan minimarket tersebut.

“Di saat ekonomi sedang turun, yang rentan terkena dampak paling besar adalah kalangan masyarakat bawah,” tegas Angga.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan