Selasa (20/11) Juru Bicara Kepala Badan Intelijem Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto melansir temuan ihwal 41 masjid di lingkungan pemerintah yang terpapar radikalisme. Menariknya lagi, temuan tersebut merupakan hasil survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Nahdlatul Ulama, dimaksudkan sebagai early warning untuk didalami dan ditindaklanjuti.
Namun ketika tolok ukur radikalisme berdasarkan konten yang dibawakan oleh para penceramah di masjid-masjid, hal ini bisa mengundang kegelisahan tersendiri di kalangan umat. Apa maksud radikalisme Islam dan kepada siapa frase itu dialamatkan? Terlepas Islam sebagai aqidah, pada kenyataannya ada banyak Islam dan aneka tafsir terhadap Islam. Citra dan realitas Islam dan umat Islam banyak dan beragam: secara religius, budaya, ekonomi, dan politik.
BIN maupun P3M dalam menggelar survei terkait Islam Radikal jangan larut dalam cara pandang Amerika Serikat dan Eropa Barat yang secara laten di alam bawah sadar sejatinya mengidap Islamofobia.
Sebelum mengulas lebih dalam isu ini, mari kita simak beberapa fakta berikut ini. Porsi terbesar dari 1,5 miliar warga Muslim dunia bukanlah bangsa Arab, melainkan Asia dan Afrika. Hanya sekitar seperlima yang merupakan bangsa Arab. Komunitas Muslim terbesar hidup di Indonesia, Bangladesh, Pakistan, India dan Nigeria. Bukan di Arab Saudi, Mesir, atau Iran.
Konstruksi fakta sekilas tadi kiranya jelas bahwa keberadaan Islam di Indonesia bukan sekadar negeri berpenduduk Muslim terbesar. Fakta tersebut menyiratkan adanya persenyawaan erat antara Islam dan rasa nasionalisme kebangsaan Indonesia sejak pra kemerdekaan, masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan, hingga di era kemerdekaan RI saat ini.
Maka itu dalam mengidentifikasi radikalisme Islam di Indonesia, tidak mungkin hanya sekadar merujuk pada berbagai kejadian belakangan ini saja. Dalam berjuang melawan penjajahan asing baik Portugis, Belanda maupun Inggris, Islam dan nasionalisme bersenyawa menjadi suatu kekuatan melawan imperialisme dan kolonialisme. Seperti Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Tuanku Imam Bonjol di Sumatra Barat, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, Sultan Baabullah di Ternate. Dan seterusnya. Daya Spiritual Islam bersenyawa dan menyatu dengan semangat kebangsaan melawan penjajahan asing.
Semangat Pan Islamisme yang sejatinya merupakan kombinasi antara ikatan spiritual yang bersifat lintas bangsa dan negara, namun pada saat yang sama menjadi sumber inspirasi rasa nasionalisme di masing-masing negara yang berpenduduk mayoritas Islam itu, pada perkembangannya sangat mencemaskan negara-negara imperialis bukan saja di aba-abad silam. Melainkan hingga kini.
Maka itu, bukan hal yang aneh jika di negara-negara Barat dan AS hingga kini masih dikembangkan perasaan Islamofobia terhadap kalangan warga masyarakat negaranya masing-masing. Sekadar gambaran sekilas pada 2006, harian terkemuka AS yang berhaluan liberal sempat menggelar jajak pendapat tentang Islam di mata warga AS. Hasilnya, 46 persen mempunyai pandangan negatif tentang Islam, meskipun prosentase tersebut lebih tinggi dibanding dengan jajak pendapat yang diselenggarakan saat terjadinya tragedi 11 September 2001.
Di Eropa malah lebih buruk lagi. Beberapa jajak pendapat yang digelar menggambarkan Islam merupakan agama yang paling condong akan kekerasan, di Inggris yang setuju dengan tudingan itu prosentasenya sekitar 63 persen. Di Prancis 87 persen. Dan di Belanda 88 persen.
John L. Espito dalam bukunya bertajuk Masa Depan Islam, Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat, perasaan Islamofobia memang dirancang secara terencana sejak 1997. Ketika Runnymede Trust, sebuah kelompok pemikir independent, menciptakan istilah Islamofobia untuk menjelaskan apa yang mereka lihat sebagai prasangka yang berakar pada “perbedaan” penampilan fisik kaum Muslim serta ketidaktoleranan keyakinan religius dan kebudayaan mereka.
Karenanya rasa Islamofobia yang bertumbuh dari kebodohan dan ketakutan akan sesuatu yang tak diketahui, dan menyebar luas di dunia non-Muslim, pada perkembangannya akan dimanipulasi untuk mengembangkan demonisasi kepada masyarakat. Demonisasi adalah tindakan yang dengan sengaja menggunakan rasa takut untuk tujuan politik. Dan Islamofobia, merupakan pintu masuk dan katalisator yang pas untuk membangun ketakutan dan kecemasan terhadap Islam.
Namun, mengingat kesejarahannya sebagai ikatan spiritual yang menembus lintas negara-bangsa maupun sebagai sumber inspirasi melawan kolonialisme dan imperialisme, pada suatu masa memang pernah mengundang kecemasan negara-negara imperialis seperti Inggris, Prancis dan Belanda.
Pan Islamisme. Itulah yang jadi momok menakutkan negara-negara imperlialis tersebut. Marilah kita telisik jejak langkah pendirinya, Sayid Jamaluddin al Afghani, pendiri Pan Islamisme.
Al Afghani, yang lahir pada 1893 di Asabadad, di sebelah timur Afghanistan, ketika ke India mulai melek kesadarannya akan watak kolonial Inggris dalam mengeksploitasi rakyat. Terutama ulah East India Company (EIC), paralel dengan sepak-terjang VOC Belanda ketika menjajah bumi nusantara sejak abad ke-17.
Melalui pencerahan di India itu, Jamaluddin bertekad memerangi dua misi sekaligus. Melawan korupsi sosial-politik para penguasa lokal sekaligus rekan-rekan seagamanya sendiri, dan melawan imperialisme Barat yang mengancam integritas politik dan ekonomi setiap negara Islam di Asia dan Afrika.
Ketika menetap di India dan kemudian di Mesir, yang merupakan wilayah jajahan Inggris, Jamaluddin memang jadi momok menakutkan bagi Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Ketika memulai debutnya sebagai tokoh pergerakan Islam di Mesir, Jamaluddin melalui ceramah-ceramahnya, menggugah kesadaran umat Muslim terhadap dominasi Eropa teristimewa Inggris, yang bertekad mempertahankan kekuatan mereka di Inggris.
Meski kemudian diusir dari Mesir, namun Jamaluddin telah menanamkan rasa cinta tanah air dan pentingnya gerakan pembebasan nasional di negara-negara Islam yang dijajah Inggris atau negara-negara Eropa lainnya. Dan meninggalkan suatu tanda yang tak terhapuskan dalam pikiran dalam pikiran orang-orang Mesir. Beberapa tokoh pembaharuan Islam Mesir seperti Mohammad Abduh serta Saad Zaghlul, tercatat merupakan murid-murid pertamanya yang belajar tentang kebangkitan nasional dari Jamaluddin.
Ketika diusir dari Mesir, Jamaluddin kemudian pergi ke Istambul, Turki. Nah di sini cerita semakin menarik. Ketika Jamaluddin tiba di Turki, Dinasti Ustmani sedang menghadapi berbagai masalah dalam dan luar negeri yang pelik, akibat pertarungan global antar negara-negara adidaya yang berebut pengaruh di Turki. Antara lain Inggris dan Rusia.
Di Turki, Jamaluddin yang sangat tajam analisis politik internasionalnya dalam membaca konstelasi global kala itu, memberi masukan kepada Wazir Agung Ali Pasha mengenai rencana-rencana busuk kaum imperialis tersebut. Namun di Turki rupanya Jamaluddin tidak begitu disukai, dan mengundang permusuhan dari faksi-faksi yang merupakan musuh dari Ali Pasha.
Karena Sultan Turki pun tidak kuasa melindungi pemimpin termashur itu, Jamaluddin akhirnya hengkang dari Turki. Dan kembali ke Mesir pada 1871. Kala itu, Mesir merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan gabungan Inggris dan Prancis. Alhasil kan keuangan negara jadi kosong dan rakyat jelata jadi mangsa kemiskinan yang tak dapat disembuhkan.
Menyadari situasi ini, Jamaluddin di Mesir mulai melancarkan program politiknya: Revolusi ideologis yang bertumpu pada gerakan kesadaran nasional masyarakat Mesir. Maka terbentuklah lingkaran inti dan jaringan tersusun yang dimotori para cendekiawan murid-murid Jamaluddin. Seperti Mohammad Abduh, Saad Zaghlul, Adib Ishaq, Ibrahim al Afghani, MB Mobalji, IB Molbaji, dan lain-lainnya.
Di Mesir ini pula Jamaluddin mendirikan sebuah perhimpunan yang disebut Mahfil-I Watan, yang mana tujuan pokoknya adalah untuk mempersatukan kembali potensi-potensi berbagai elemen bangsa Mesir yang kala itu terpecah-belah. Jamaluddin ingin agar mereka bersatu jadi kekuatan yang kuat untuk menghadapi invasi kolonial Eropa. Selain itu, Mahfil-I Watan, bertujuan memperbaiki standar moral rakyat yang telah dirugikan oleh ideologi Eropa.
Selain itu perhimpunan ini juga menganjurkan solidaritas sosial, kesejahteraan keluarga, serta pekerjaan kesehatan masyarakat. Lagi-lagi, seperti halnya ketika di India dan Turki, Jamaluddin pun kemudian meninggalkan Mesir. Namun ia dengan pasti telah melincinkan jalan bagi pembebasan rakyat Mesir dari penindasan orang-orang Asing maupun penguasa tiran setempat.
Ketika di Prancis, Jamaluddin menerbitkan mingguan bernama Urwat al-Withqa(Hubungan Yang tak Dapat Dipecahkan). Menelisik tujuan pokok dari penerbitan mingguan ini, nampak jelas bahwa Jamaluddin memang merupakan motor penggerak kesadaran nasional yang religius. Pertama, memberikan informasi kepada orang-orang Muslim tentang tipu daya kaum imperialis dengan maksud untuk menggugah mereka kembali ke arah persatuan politik dan untuk mengungkapkan kepada negara-negara Islam bahwa beberapa negara Eropa sebenarnya mengambil keuntungan dari pertikaian serta sikap naïf dalam negeri negara-negara Islam itu.
Kedua, melindungi perbatasan setiap negara Islam terhadap setiap serangan atau pun pengacauan dari negara lain dan untuk menggunakan keseluruhan sumber mereka guna menghadapi agresi. Ketiga, berjuang bagi pembebasan semua negara yang dikuasai oleh kekuatan kolonial Barat.
Menariknya lagi, ketika di Paris ini pula Jamaluddin menjelaskan kepada komunitas Muslimin berbagai negara-negara Islam agar membangun pertahanan nasional mereka sendiri dan jangan menggantungkan diri pada potensi militer negara-negara Eropa. Sebuah tentara yang terorganisir di setiap negara Islam dipandang mutlak perlu guna melindungi kemerdekaannya.
Lantas, bagaimana ceritanya sampai Pan Islamisme-nya Jamaluddin kemudian dicap sebagai pendukung Khilafah? Sebenarnya itu hanya salah satu langkah taktis Jamaluddin ketika harus menjalin persekutuan dengan Sultan Hamid dari dinasti Ustmani. Ketika Jamaluddin kali kedua ke Turki, dengan reputasi yang semakin diperhitungkan di dunia internasional maupun negara-negara Islam sebagai motor penggerak Pan Islamisme, Sultan Hamid mengusulkan agar Jamaluddin mengusulkan terbentuknya Khalifah “Federasi Islam.”
Namun tujuan strategis Jamaluddin ketika ke Turki jauh lebih bertujuan jangka panjang. Regenerasi Islam, pembaharuan dan Pan Islam. Yang mana tujuan strategis Jamaluddin adalah menggunakan persatuan Islam sebagai penghalang bagi supremasi Eropa di dunia Timur. Sedangkan tujuan Sultan Hamid lebih jangka pendek dan sarat kepentingan. Yaitu untuk menjadi Ketua dari Persatuan Islam yang dia usulkan melalui terbentuknya Khalifah Federasi Islam.
Namun itupun kalau niatnya semula dari Khalifah Federasi Islam dalam rangka kerjasama taktis dengan Sultan Hamid, namun tidak sampai terwujud karena pada perkembangannya kemudian Jamaluddin dan Sultan Hamid terlibat percekcokan yang akhirnya persekutuan mereka berdua bubar.
Begitupun, seperti terungkap melalui serangkaian tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media massa kala itu, dalam diagnosanya Jamaluddin mengatakan bahwa penyakit paling berbahaya di Timur tidak adanya persatuan di kalangan rakyat-rakyatnya serta terjadinya perpecahan di antara rakyat.
“Kubertanya pada diri sendiri mengapa mereka tidak setuju bila yang menjadi masalah adalah persatuan, dan setuju bila menyangkut perceraian dan pemisahan. Sesuai dengan itu, kumulai usahaku kea rah mempersatukan suara mereka yang berbeda-beda dan mencapai kesatuan pandangan, dan kuperingatkan mereka tentang bahaya yang dari dari Barat. Suatu bahaya yang sedang menunggu kesempatan yang baik dan yang sebenarnya telah mengepung dunia Timur,” begitu tulisnya di salah sebuah mingguan.
Kalau menelisik serangkaian perjalanannya ke berbagai negara Islam, dimanapun ia [pergi dan tinggal ia menganjurkan pembaharuan. Bila programnya tidak diterima ia lalu mengarahkan usaha-usahanya terhadap kaum penguasa yang lalim di negara-negara bersangkutan.
Ia berpendirian bahwa kelalilam dan kekuasaan otokratis selalu menimbulkan segala macam penyelewenanga, fitnah, serta perbudakan di bidang politik dan ekonomi di kalangan massa rakyat.
Setelah membebaskan kaum muslimin dari perbudakan negara-negara besar berikut kakitangan-kakitangan mereka, tujuan berikutnya adalah mematri mereka menjadi satu demi kepentingan mereka sendiri maupun kebaikan umat manusia. Itulah jalan untuk menegakkan keadilan sesuai filsafat Islam. Begitu pandangan Jamaluddin al Afghani.
Konstruksi kisah Jamaluddin al Afghani menggambarkan bahwa gagasan Pan Islamisme sejatinya merupakan benih-benih gerakan pembaharuan dan regenerasi yang meliputi seluruh dunia Islam. Bukan sekadar untuk satu negara tertentu saja. Dalam bayangan al Afghani, dalam upaya mengenyahkan cengkraman asing di mana-mana, dana dalam setiap bentuknya, ia membawa di dalam pikirannya gambaran suatu masyarakat Islam yang murni serta sebuah peta politik sebuah negara Islam yang bebas, berfederasi dan melimpah ruah.
Karena dirinyalah pengertian-pengertian patriotisme dan persatuan religius tumbuh di Afghanistan, Mesir, India, Turki, dan Iran. Bahkan menginspirasi berbagai pergerakan Islam di Asia dan Afrika. Tak terkecuali Indonesia.
Beberapa tokoh pergerakan Islam seperti HOS Cokroaminoto Haji Agus Salim dari Sarikat Islam, maupun KH Achamd Dahlan tokoh pendiri Muhamadiyah, juga terinspirasi oleh pergerakan Pan Islamisme Jamaluddin al Afghani.
Alhasil, pengaruh Pan Islamisme di Indonesia, praktis telah mengilhami tumbuh-suburnya pergerakan nasional untuk melawan penjajahan Belanda.
Dengan begitu, Pan Islamisme yang merupakan gerakan ideologis yang bertumpu pada kesadaran nasional dan persatuan religius, sejatinya bukan Islam radikal.
Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.