Lalu dalam implementasi, UUK lantas ditarik ke masa kolonial dengan cara menghidupkan kembali rijksblaad serta memperluas makna ‘tanah bukan keprabon’, sehingga tanah Keraton dan Pakualaman menjadi sangat luas. Perluasan makna tersebut juga menyasar tanah desa. Baginya, hal ini jelas-jelas menabrak UU Desa serta melampaui UUK.

“Bukan rahasia pula, warga keturunan yang kebanyakan dari etnis Tionghoa di DIY sebagian besar tidak bisa memiliki SHM (sertifikat hak milik) atas tanah yang mereka tempati,” kata dia.

Alat yang digunakan adalah Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 soal Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Non-pribumi di DIY yang seharusnya menurut Nazaruddin sudah tidak bisa dipakai lagi seiring berlaku penuhnya UUPA di Yogyakarta.

Larangan itu dinilai bukan bagian dari keistimewaan urusan pertanahan yang diberikan kepada DIY. Aturan tersebut tidak ada relevansinya dengan melindungi tanah-tanah milik pribumi, sebab warga keturunan Tionghoa pun tidak dilarang melakukan transaksi tanah dengan membeli tanah milik siapapun.

“Kalau mau melindungi tanah-tanah pribumi agar tidak dikuasai warga keturunan Tionghoa, mestinya dibuat aturan warga pribumi tidak boleh menjual tanahnya kepada warga keturunan Tionghoa,” demikian Nazaruddin.

(Nelson Nafis)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis