Jakarta, Aktual.com – Politisi PAN Achmad Hafisz Thohir menilai, sistem pemilu yang berlaku saat ini lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat yang didapat publik. Dalam hal ini, pendidikan politik yang baik.

Hal itu dikatakan Hafisz menanggapi wacana pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas dalam draft RUU Pemilu yang diserahkan pemerintah pada DPR RI.

“Memang sejak ada Pilkada langsung menjadi heboh negeri kita ini, sangat menguras perhatian dan waktu serta menguras dana. Suatu pemborosan yang sangat luar biasa telah terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis yang sangat buruk ini,” ujar Hafisz di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (27/10).

Hafisz mengaku bahwa dirinya salah satu orang yang tidak sependapat dengan sistem pemilu yang berlaku saat ini.

“Saya tidak setuju dengan sistem pemilu (proporsional terbuka) yang kapitalis seperti ini. Karena sudah banyak bukti tidak menghasilkan pemimpin yang sesuai aspirasi rakyat serta pemborosan energi dan biaya saja selain tidak amanah,” tegas wakil ketua Komisi XI DPR RI ini.

Salah satu buktinya, kata dia, ada 350-an kepala daerah (dari 515 kepala daerah) yang sedang diperiksa hukum baik Kejaksaan maupun KPK. Ada puluhan (dari 34) gubernur yang juga sudah masuk wilayah hukum.

Menurut Hafisz, Banyaknya permasalahan yang timbul antar kepala daerah dan wakil kepala daerah diakibatkan adanya misi dan visi yang berbeda.

“Ini akibat sistem demokrasi pilkada langsung mengakibatkan pendidikan politik ‘wanni piro’ dan ini sangat merusak mental bangsa, sehingga pendidikan politik harus dikaji ulang apakah demokrasi kita sudah berjalan baik atau mendidik? Karena lebih banyak mudharat daripada manfaat,” sebut dia.

Umumnya, lanjut Hafisz, demokrasi baru alamiah jika pendidikan politik sudah merata minimal 85% keseluruh penduduk. Tapi faktanya, sambung dia, penduduk Indonesia saat ini masih 50% tamatan SD.

“Jadi bagaimana mungkin mereka bisa memahami apa itu demokrasi one man one vote? Wong perut mereka saja masih kosong alias lapar,” cetus mantan Ketua Komisi VI ini.

Hafisz menambahkan, 29 juta rakyat sangat miskin dan 77 juta rakyat pra miskin, dipaksa untuk berdemokrasi one man one vote. Sehingga tidak heran akhirnya demokrasi Indonesia adalah demokrasi jual beli alias demokrasi judi.

“Saran saya perbaiki kondisi ekonomi rakyat dulu baru berdemokrasi langsung seperti ini. Juga beri dulu pendidikan minimal tamat SMA wajib untuk seluruh pendududk Indonesia agar mereka paham apa itu demokrasi, baru kita bicara pilkada langsung,” pungkasnya.

Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan