Oleh: Yudi Latif

Jakarta, aktual.com – Saudaraku, gambaran dunia itu tergantung cuaca di langit jiwa. Keindahan hidup di dunia merupakan pancaran keindahan jiwa. Terang hidup di dunia tergantung pantulan sinar di langit jiwa.

Untuk bisa keluar dari kelam krisis kehidupan diperlukan kemampuan menyibakkan kabut jiwa. Kita tak bisa menerobosnya hanya berbekal galib penglihatan. Butuh mata daya spiritualitas yang dapat menembus tabir gelap.

Inti daya spiritualitas adalah kemampuan menyalakan energi rohani lewat pengenalan dan pengaktifan jatidiri. Tenaga rohani itu dipancarkan menuju tatanan kosmis yang harmonis dengan “dunia atas” (yang Ilahi), “dunia tengah” (yang insani), dan “dunia bawah” (yang alami).

Dari hubungan triadik itu tumbuhlah makna hidup berlandaskan nilai ageman yang berbudaya dan berkeadaban. Nilai inti ageman itu meliputi nilai etis (akhlak), nilai logis (ilmiah), nilai estetis (kepantasan), nilai pragmatis (kreativitas maslahat).

Alhasil, daya spiritualitas itu ibarat batang kembang dengan empat kelopak bunga. Tenaga rohani itu harus terpancar dalam kemampuan membedakan baik-buruk, benar-salah, pantas-tak pantas, maslahat-mudarat.

Mendung yang menggantung di langit kehidupan kita disebabkan gelembung pemujaan keagamaan tanpa menyalakan lentera jiwa. Modus beragama sebatas gebyar formalisme peribadatan, tanpa menghidupkan nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya.

Tanpa pengaktifan daya spiritual tertib kosmis dan sistem makna centang perenang karena kehidupan berjalan tanpa tuntunan nilai. Tanpa ageman nilai, manusia hidup bak binatang, bahkan lebih rendah–lebih biadab, lebih merusak.

Bagaimana hidup mulia bila beragama tak bisa susila. Berilmu tak bisa bijaksana. Berkuasa tak bisa rumeksa. Berharta tak bisa derma.

Bagaimana hidup sentosa bila ulama tak berakhlak mulia. Penguasa tak jadi penjaga. Sarjana tak jadi sujana, hartawan tak jadi peraharja.

Bagaimana hidup tentram bila iman tak bawa akhlak, ilmu tak bawa pelita, politik tak bawa tertib tata kelola, ekonomi tak bawa sejahtera.

Bagaimana hidup sungguh hidup, bila iman, ilmu, kuasa dan harta tak bisa memberi makna pada hidup?

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain