Yudi Latif
Yudi Latif

Saudaraku, dalam perkembangan dunia yang mengalami intensitas disrupsi teknologis yang merobohkan batas ruang dan waktu serta mengadaluarsakan berbagai pakem dan kemapanan, masih relevankah nilai-nilai Pancasila sebagai bintang penuntun ?

Diperlukan terang pikir sebagai pelita hidup bahwa setiap perkembangan teknologi itu berwajah “janus”: berdampak positif dan negatif. Dampak negatif disrupsi teknologis era industri 4.0 diartikulasikan oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019). Dengan keserbahadiran teknologi telematika, surveillance capitalism tahu segala sesuatu tentang kita, sedangkan operasi mereka dirancang untuk tidak kita ketahui. Mereka mengakumulasi domain pengetahuan baru dari kita, tapi tidak untuk kita. Mereka memprediksi masa depan kita untuk perolehan yang lain, bukan milik kita.

Dampak positif perkembangan teknologi dikemukakan secara optimis oleh Brett King dan Richard Petty dalam Technosocialism (2021). Dengan peluang baru yang dimungkinkan teknologi, keduanya mengingatkan perlunya mereformasi kapitalisme dan menggantinya dengan “technosocialism”–dengan memanfaatkan teknologi untuk tujuan kesejahteraan dan pemerataan. Saat ini, kita sudah mengalami tahap awal technosocialism seperti ketersediaan internet dan mesin pencari (Google, DuckDuckGo, aplikasi Waze dan sejenisnya) dengan memberikan pelayanan secara demokratis dan murah, yang bisa dijangkau segala kalangan.

Wajah ganda dampak dirupsi teknologis mengingatkan kita bahwa pada akhirnya manusia di balik senjatalah penentu utamanya. Ketika disrupsi jadi normalitas, segala sesuatu yang tak bisa didigitalisasi justru menjadi kian penting. Hal-hal yang tak bisa didigitalasasi seperti etika, etos kerja daya kreatif, imaginasi, intuisi, dan emosi kian menuntut perhatian.

Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia dapat melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Generasi baru harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin. Denga teknologi, anak-anak masa depan harus bisa menemukan “rumah” (home), bukan menjerumuskan mereka ke “tempat pengasingan” (exile).

Belajar Merunduk, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin