Para ahli hukum Tatanegara dalam kajiannya berpendapat bahwa Soepomo, mengambil konsep pemikiran dari tiga filsuf pada abad ke-18 dan ke-19, yakni Benedict Spinoza, Adam Muller dan Georg W .F. Hegel.
Diterjemahkan oleh Soepomo sebagai bentuk ketertarikannya dengan sistem pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno – Haika dan Jerman saat itu, tidak semuanya tepat walau tidak salah, dimana Jepang sebagai negara feodal dengan Raja sebagai poros paling atas kekuasaan. Menurut Soepomo, sistem pemerintahan seperti ini sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti.
Diterapkan dalam pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa yang mengadopsi sistem pemerintahan pada kerajaan Majapahit, dimana Raja sebagai Gusti atau kepala negara dengan perangkat wakilnya Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
Soepomo menolak konsep Individualisme Barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Menurut Soepomo, konsep individualitas ala barat bertentangan dengan struktur masyarakat desa yang merupakan soko guru untuk cermin struktur masyarakat yang lebih luas seperti negara. Bentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara Kawulo (rakyat) dengan pemimpin (Gusti). Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem ketatanegaraan. Dimana, dalam negara integralislis ala pemerintahan Desa, tidak ada pertentangan dan selalu ada Harmono kepentingan. Ini karena negara dikelola secara kekeluargaan, layaknya sebuah keluarga harmonis. Negara Integralistik dalam perspektif Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri sendiri sesuai kodratnya.
Marsilam Simanjuntak dalam studi yang sangat impresif soal konsep Negara Integralistik, dalam bukunya, Marsilam menguraikan bagaimana Sorpomo “membayangkan” hal sistem dan ketatanegaraan. Marsilam fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel, yang mana menurut penulis, aliran dan pendapat dari Benedict Spinoza dan Adam Muller serta George W.F .Hegel, bukan merupakan rujukan dan memberi pengaruh kepada Soepomo dalam mengusulkan ide Negara Integralistik. Sebagai seorang bangsawan keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah Desa – Desa adat, yang di komseptualkan dalam sistem terbentuk nya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Kebetulan lulusan pendidikan hukum di Belanda, pendapat para filsuf Eropa pada abad ke-18 dan 19 hanya sebagai referensi, perbandingan pandangan.
Pada era kini dalam era Reformasi, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, dan terbentuknya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka, telah dirombak total melalui amandemen sampai empat kali yang jujur penulis katakan sudah kehilangan Ruh dan jati diri dari UUD 1945 saat berlaku nya Dekrit Presiden 5 juli 1959.
Pada masa Orde Baru, memang tidak selalu sempurna, wajar ada kekurangan. Dalam dokrin nisasi politik contohnya, dimana institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI, yang bukan lagi sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik. Ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikus nya yang di bunuh akan tetapi justru lumbungnya yang dibakar.
Sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat, ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang dulu merupakan dewan rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil perangkat pemerintahan desa.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano