Marsilam Simanjuntak dalam studi yang sangat impresif soal konsep Negara Integralistik, dalam bukunya, Marsilam menguraikan bagaimana Sorpomo “membayangkan” hal sistem dan ketatanegaraan. Marsilam fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel, yang mana menurut penulis, aliran dan pendapat dari Benedict Spinoza dan Adam Muller serta George W.F. Hegel, bukan merupakan rujukan dan memberi pengaruh kepada Soepomo dalam mengusulkan ide Negara Integralistik. Sebagai seorang bangsawan keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah Desa-Desa adat, yang di konseptualkan dalam sistem terbentuk nya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Kebetulan lulusan pendidikan hukum di Belanda, pendapat para filsuf Eropa pada abad ke-18 dan 19 hanya sebagai referensi, perbandingan pandangan.

Pada era kini dalam era Reformasi, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, dan terbentuknya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka, telah dirombak total melalui amandemen sampai empat kali yang jujur penulis katakan sudah kehilangan Ruh dan jati diri serta arah tujuan sebagai bangsa sesuai UUD 1945 saat berlaku nya Dekrit Presiden 5 juli 1959.

Pada masa Orde Baru, memang tidak semuanya sempurna, wajar ada kekurangan. Dalam dokrinisasi politik contohnya, dimana institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI, yang bukan lagi sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik. Ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikus nya yang di bunuh akan tetapi justru lumbungnya yang dibakar.

Sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat, ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang dulu merupakan dewan rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil perangkat pemerintahan desa.

Demikian juga MPR yang susunan anggotanya, terdiri dari Seluruh anggota DPR RI, wakil golongan yaitu golongan dari perwakilan agama seluruh Tanah air, wakil dari organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan wakil Daerah yang mewakili daerah masing-masing yang saat ini diwakili oleh anggauta DPD, yang pada masa lalu diwakili oleh Gubernur, Bupati, Walikota yang merupakan wakil di daerah yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat melalui perwakilan. MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sebagai panduan dari tujuan pembangunan bangsa ini. Tertata dan terstruktur dalam jangka pendek, menengah dan Panjang yang dituangkan pemerintah dalam Repelita.

Itulah wujud dari sistem Negara Integralistik yang ditulis Mpu Prapanca di Kakawin Nagara Kertagama dan sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara. Saat ini, kewenangan MPR sudah dicabut sehingga tidak ada lagi GBHN dan Repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas), petunjuk arah pembangunan tidak ada lagi.

Masing–masing pemerintah daerah, dalam otonomi daerah, bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing masing. Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris Presiden dan wakil presiden. Kemudian dirubah menjadi suara rakyat menjadi Mandataris Presiden melalui Pemilu langsung. Kita sama–sama bisa lihat dan merasakan, dimana seolah kita sudah kehilangan. ruhnya sebagai sebuah bangsa. Sudah bermetafora pada bangsa dengan sistem Liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan oleh para pendiri bangsa tetapi harus diakui akhirnya telah terjadi pada masa kini yang telah hilang budaya guyub rukun, gotong royong, dan sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan, yang ada adalah ekonomi dikuasai pemodal besar, yang kalau meminjam kata kata dari Mark Twain “ketika orang kaya memeras orang miskin hal itu disebut bisnis, tapi ketika orang miskin melawan ketidak Adilan hal itu disebut kejahatan”

Menanggapi pemikiran Mr Soepomo tentang konsep kepemimpinan dalam Negara Integralistik, Guru Besar Hukum Paling senior dari Universitas Padjajaran Bandung, yakni Prof Dr I Gde Pantja Astawa, punya pendapat yang mengkritik secara tajam soal pemikiran Soepomo yang tidak lagi sesuai dengan kondisi dan situasi negara Demokrasi Modern saat ini, dimana beliau menyatakan :

Ada 2 (dua) hal prinsipil terkait dengan pemikiran Prof. Soepomo yang disampaikan dalam penyusunan UUD 1945 di BPUPKI, yaitu :
Pertama, konsep Integralistiknya (Soepomo) yang mengadopsi model kepemimpinan Raja-raja Jawa pada masa kerajaan (juga merujuk sebagai perbandingan ke Jepang, Kaisar Hirohoto dan Musolini, Italia) yang menerapkan model kepemimpinan “Manunggaling Kawulo Gusti”- bersatunya rakyat dengan Pemimpinnya. Karena rakyat dan pemimpin merupakan satu kesatuan, maka tidak tempat bagi rakyat untuk berbicara Hak Asasi Manusia dan Pemimpin diyakini sebagai Wakil Tuhan di dunia yang tidak mungkin akan sewenang-wenang atau zholim kepada rakyat. Ideal, memang bila yang jadi pemimpin adalah nabi, atau paling tidak malaikat. Karena pemimpin adalah manusia tempatnya bermukim kesalahan atau kekurangan, tentu saja potensi untuk bertindak sewenang-wenang atau zholim/diktator bukanlah suatu hal yang musykil. Begitu juga HAM sebagai sesuatu yang melekat pada fitrah manusia yang merupakan karunia Tuhan, tidak dapat dinafikan keberadaannya. Itulah sebabnya, konsep Integralistik Soepomo mendapat sanggahan dari Bung Hatta, yang menyatakan bahwa konsep Integralistik berpotensi besar melahirkan Negara Kekuasaan (Machsstaat) dan perlunya diakui / diberikan jaminan pengakuan terhadap HAM, walau hanya pokok-pokoknya, tidak juga model HAM ala Barat yang lebih mementingkan Hak daripada Kewajiban, melainkan HAM yang menjamin adanya keseimbangan antara Hak dan Kewajiban. Dengan adanya sanggahan Bung Hatta itulah, konsep Integalistik tidak jadi digunakan basis dalam konteks hubungan rakyat dan pemimpinnya; yang
Kedua, menyangkut Konsep Republik Desa (nya Soepomo), diadopsi dari praktek pemerintahan desa masa lalu, yaitu adanya konsep “Rembug Desa” yang dalam kontek Indonesia merdeka dijelmakan dalam bentuk Institusi negara yang bernama MPR, Kepala Desa, dijelmakan ke dalam bentuk lembaga kepresidenan dengan pemangku jabatannya yang disebut Presiden. Konsep Republik Desa (nya Soepomo) itu di adopsi dari pemerintahan desa yang kemudian dimodifikasi dan disesuaikan dengan Kondisi dan situasi Indonesia merdeka. Dan jadilah lalu konsep dalam UUD 1945 beserta pembukaan nya sesuai UUD 1945 .

Menyangkut Pancasila sebagai Philosophische Grondslag, Sekaligus sebagai Weltanschauung, Prof Gde Pantja panggilan akrab beliau menambahkan :
Sepanjang dan selama rumusan sila-sila (Pancasila) tercantum dlm Alinea IV Pembukaan UUD 1945, sementara Pembukaan UUD 1944 merupakan, roh/jiwa, spirit, dan amanah yg menjiwai Batang Tubuh UUD 1945, maka ratio legisnya : Pancasila adalah Dasar Negara, Philosofische Grondslaag (dasar falsafah bangsa), weltanchaung/pandangan hidup bangsa, sekaligus Idiologi negara. Terutama kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar (etika/moral) bagi penyelenggara negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan juga bagi segenap komponen bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta sebagai sumber dari segala sumber hukum (tertulis), dan oleh karenanya menjadi penting dan strategis kedudukan Pancasila dalam konteks kehidupan bersama kita sebagai bangsa yang majemuk dalam upaya merajut persatuan dan kesatuan yang bernafaskan nilai-nilai keagamaan, HAM, demokrasi, dan keadilan sehingga bangsa ini memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia. Mengingat kedudukan Pancasila yang demikian penting dan strategisnya, maka menjadi sangat beralasan bila pendidikan Pancasila mulai diedukasikan kepada peserta didik sejak usia dini sampai ke level pendidikan tinggi (bagi generasi milineal/generasi Z) melalui kurukulum pendidikan, yang berbeda dengan “Kewarganegaraan” yang diajarkan selama ini. Kalau “Kewarganegaraan”, substansinya lebih pada “civic education” yang menekankan pada Hak dan Kewajiban warga negara dalam tataran infra struktur dan supra struktur politik; sedangkan mata pelajaran/mata kuliah Pancasila lebih kepada penanaman NILAI yang terkandung dalam Pancasila.

Terlebih lagi dalam menghadapi perkembangan global dengan pesatnya kemajuan IT (berikut dengan dampak yang ditimbulkannya), menjadi penting pula diberikan pemahaman kepada seluruh peserta didik bahwa Pancasila adalah juga merupakan Idiologi Terbuka, sekaligus sebagai Filter/penyaring: mana nilai-nilai dari luar yang bisa diserap dan diadopsi dan mana pula yang diprioritaskan agar kepentingan bangsa, negara, dan rakyat terjaga dan terlindungi dari serbuan dampak buruk yang ditimbulkan dari dinamika global dan pesatnya kemajuan IT.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano