Ketua Umum Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) Rachmawati Soekarnopurti memberikan potongan tumpeng kepada Lily Wahid dalam acara peringatan HAUL ke - 46 Presiden RI Ke 1 Soekarno di Universitas Bung Karno, Jakarta, Senin (20/6/2016). Peringatan HAUL ke 46 Bung Karno yang di hadiri oleh para tokoh - tokoh dan ratusan mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK).

Jakarta, Aktual.com-Propaganda radikalisme dan terorisme dapat ditangkal dengan penguatan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di masyarakat.

“Itu harus dan tidak bisa tidak. Saat ini penerapan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika seakan berada di alam mimpi. Kalau itu tidak segera dilakukan, saya khawatir radikalisme dan terorisme akan makin mengoyak perdamaian di Indonesia,” ujar mantan Anggota DPR Lily Wahid, di Jakarta, Selasa (9/8).

Menurut dia, nilai-nilai Pancasila dan Binneka Tunggal Ika yang memberikan kesadaran sebagai bangsa majemuk bisa menjadi senjata dalam menangkal radikalisme dan terorisme.

“Karena itu, sosialisasi nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika perlu lebih difokuskan lagi ke kelompok masyarakat yang berpotensi mudah dipengaruhi untuk menjadi teroris,” katanya.

Adik kandung Gus Dur itu mengatakan harus diakui kebangsaan dan kebersamaan bangsa Indonesia, yang merupakan bagian dari nilai-nilai Pancasila, kini mulai luntur.

“Apabila falsafah bangsa itu tetap diabaikan maka Indonesia ke depan akan semakin kehilangan jatidirinya,” kata mantan Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB itu.

Sementara itu, dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Muhibbin Zuhri mengungkapkan bahwa bela negara atau kecintaan kepada Tanah Air adalah inheren dalam Islam.

“Jadi, pandangan keagamaan soal kebangsaan, yaitu mencintai negeri, mencintai bangsa, itu merupakan bagian dari keimanan. Di tengah konteks nasionalisme yang akhir-akhir ini makin luntur seiring globalisasi, perlu ditegaskan kembali agar tidak hilang,” kata Muhibbin.

Menurut dia, belakangan ini muncul paham-paham keagamaan yang berbeda dengan komitmen ulama Indonesia di awal kemerdekaan. Paham itu sangat puritan dan ingin mengotak-kotakkan atau memisah antara agama dan negara.

“Seolah-olah bahwa urusan negara itu bukan urusan agama. Mereka malah berkata bahwa Indonesia masih perlu disyahadatkan, perlu di Islam kan karena dianggap kafir atau negeri thogut, juga pemimpin-pemimpinnya,” katanya.

Dengan pandangan seperti itu, kata Muhibbin, kelompok puritan ini merasa perlu untuk berjuang mendirikan negara Islam dan khilafah islamiyah di Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara