SIDANG KE-13 AHOK : Terdakwa dugaan kasus penodaan agama, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memasuki ruang sidang di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (7/3). Sidang ke-13 rencananya menghadirkan tiga orang saksi yang meringankan terdakwa antara lain Bambang Waluyo Djojohadikoesoemo, Analta Amier selaku kakak angkat Ahok, dan Eko Cahyono. MI/RAMDANI

Jakarta, Aktual.com – Ahli hukum pidana, Eddy Omar Sharif menekankan bahwa ada perbedaan mendasar antara Pasal 156a huruf a KUHP dan Pasal 156a huruf b KUHP. Dimana, pendapat Eddy ini sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum kasus penodaan agama.

Dijelaskan Eddy Pasal 156a huruf a KUHP tidak terdapat unsur akibat. Dalam pasal tersebut hanya mengutamakan unsur kesengajaan, dalam mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan di muka umum yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang berlaku di Indonesia.

Sementara pada Pasal 156a huruf b, ada unsur wajib yang harus terpenuhi yakni akibat. Artinya, dalam mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan di muka umum, selain dengan sengaja tapi juga termotivasi agar berimbas pada orang lain.

Demikian pemaparan Eddy dalam persidangan kasus dugaan penodaan agama, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (14/3).

“Pada huruf a, ini dia hanya mensyaratkan kesengajaan tanpa menentukan coraknya. Tetapi pada huruf b, ini tegas sekali, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun. Kata-kata dengan maksud dalam Pasal 156a poin b, mengandung makna yang sangat mendalam bahwa yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang hanyalah kesengajaan sebagai maksud atau dalam istilah lain disebut dolus directus,” papar Eddy.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby