Disebut penting karena salah satu fungsinya ialah melakukan rekrutmen dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Jabatan politik yang proses rekrutmennya melalui parpol antara lain pencalonan presiden dan wakil presiden, pencalonan kepala daerah, dan pencalonan anggota legislatif. Pengisian jabatan politik itu hanya bisa dilakukan secara bertanggung jawab apabila parpol bebas dari korupsi.
Namun, parpol yang bebas dari korupsi masih sebatas angan-angan. Berdasarkan hasil survei Polling Center bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017, Parpol dan legislatif merupakan dua lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan publik paling rendah terkait dengan agenda pemberantasan korupsi.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap Parpol dan legislatif lantaran banyak pelaku korupsi berasal dari kedua lembaga itu. Sampai Juni 2017, dari semua koruptor yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, 32 persen ialah aktor politik.
Ada 78 kepala daerah dan 134 anggota legislatif pusat dan daerah. Mayoritas kasusnya suap, jual beli jabatan, dan mark up. Jangan pernah membiarkan parpol terus berkubang dalam lumpur korupsi. Dalam perspektif itulah patut diapresiasi inisiatif KPK membantu membenahi integritas parpol.
KPK menilai Parpol perlu dirangkul, bahkan dibantu agar berintegritas. KPK mengunjungi Parpol-parpol yang memiliki kursi di DPR sejak akhir Agustus. PDI Perjuangan menjadi Parpol yang pertama disambangi, berikutnya Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hanura, Partai Demokrat, dan Partai NasDem.
Pada saat bertemu Parpol, KPK memberikan rekomendasi sistem integritas. Rekomendasi itu berdasarkan kajian KPK sejak 2012. Terdapat empat permasalahan terkait dengan integritas parpol menurut hasil kajian KPK. Pertama, tidak adanya standar etik dari parpol dan politikus. Kedua, perekrutan dan kaderisasi politik berjalan tanpa aturan yang jelas. Ketiga, pendanaan parpol belum memadai, dan keempat, pengelolaan pendanaan oleh parpol tidak transparan dan akuntabel.
Harus tegas dikatakan bahwa kunjungan KPK ke Parpol-parpol tepat waktu dan tepat sasaran. Disebut tepat waktu karena sebelumnya KPK menyetujui usulan kenaikan dana bantuan Parpol dari Rp108 per suara menjadi Rp1.000 per suara. Semestinya KPK mewanti-wanti Parpol untuk menggunakan dana bantuan negara itu dengan penuh tanggung jawab.
Bentuk pertanggungjawaban Parpol atas dana bantuan negara bisa berupa perbaikan tata kelola keuangan partai. Tidak kalah pentingnya ialah mendorong transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan parpol kepada publik. Tidak hanya mewajibkan parpol menyampaikan laporan keuangan secara berkala kepada Komisi Pemilihan Umum, seharusnya laporan keuangan juga dipublikasikan melalui laman partai.
Kunjungan KPK ke Parpol-parpol juga disebut tepat sasaran karena pemberantasan korupsi mesti dilakukan dari hulunya. Tidaklah berlebihan jika dikatakan parpol sebagai hulu dalam pemberantasan korupsi karena semua aktor politik yang terjerat korupsi ialah kader partai. Sejatinya KPK konsisten mengawal pembenahan parpol daripada terus-menerus melakukan operasi tangkap tangan kader partai yang menjadi penyelenggara negara. Konsistensi mengawal pembenahan parpol mestinya dipandang sebagai upaya dini mencegah terjadinya korupsi.
Ketua Presidium Mabes Anti Korupsi (MAK), Rahman Latuconsina mempertanyakan barometer atau standar Parpol dalam memberikan dukungan dan rekomendasi terhadap seorang calon kepala daerah yang akan diusung.
“OTT KPK ini menjadi bukti bahwa dukungan parpol tidak selalu berbasis aspirasi masyarakat, konstituen, DPD dan DPC, namun berbasis konspirasi rupiah. Jadi, jangan heran jika tidak ada kader terbaik,” kata Rahman kepada awak media di Jakarta, Rabu (21/2).
Dia mencontohkan, PDI Perjuangan sebagai salah satu Parpol peserta Pilkada 2018 harus menelan pil pahit ketika bakal calon gubernurnya, Bupati Ngada Marianus Sae, yang diusung di Pilgub Nusa Tenggara Timur, terjaring KPK beberapa waktu lalu di Kabupaten.
Terjaringnya Ngada Marianus Sae terkait suap proyek patut diduga terkair dengan kepentingan Pilkada. “Khusus pada partai berlambang kepala banteng ini ada cerita menarik, ketika DPP PDI-P mengeluarkan rekomendasi yang mengejutkan terkait Pilgub NTT. DPP PDI-P dalam hal ini mengabaikan aspirasi daerah, mengabaikan kader terbaiknya serta tidak beracuan pada analisis dan survei terkait elektabilitas dan popularitas tokoh politik di NTT,” ungkap Rahman.
Beberapa kader PDI-P di NTT merasa kecewa atas keputusan DPP terkait Pilgub NTT, yang kemudian rasa kekecewaan itu menjadi semakin sempurna saat ketika pilihan DPP tersebut ditangkap oleh KPK. Karena kasus yang menimpa kandidat PDI-P ini, Parpol dinilai harus ‘introspeksi diri’ sebelum menentukan pilihannya.
“Kini fungsionaris PDIP di NTT mulai dari ranting, cabang sampai tingkat DPD harus menerima kenyataan bahwa jagoannya sudah cedera, namun tetap harus bermain karena itulah peraturannya. Ini menjadi beban berat yang harus dipikul semua kader PDIP di NTT. Karena sebagai petugas partai mau tidak mau, suka atau tidak suka mereka berkewajiban mengamankan putusan DPP,” katanya.
Parpol Tak Berhasil Mendidik
Tertangkapnya jumlah kepala daerah yang mencalonkan diri kembali di Pilkada 2018 merupakan bukti bahwa Parpol tak berhasil dalam merekrut kandidat yang akan bersaing dalam Pilkada.
Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, Parpol tak berhasil mendidik dan melahirkan kader yang bersih sesuai keinginan rakyat dan konstituen.
Selama kurang dari minggu, KPK sudah mendapatkan calon nakal. Mereka yang ditangkap KPK antara lain Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Ngada Marianus Sae , Bupati Subang Imas Aryumningsih , dan teranyar Bupati Lampung Tengah Mustafa.
“Calon yang mereka pilih ternyata melakukan korupsi,” kata dia.
Parpol belum bisa mencari calon yang memiliki integritas dalam membangun daerah. Ternyata, kata dia, sebelum menjadi kepala daerah mereka sudah menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan. Apalagi, lanjutnya, saat mereka nanti terpilih, maka korupsi yang akan dilakukan bakal semakin besar.
“Jadi, lebih baik mereka ditangkap sebelum terpilih. Masyarakat juga akan mengetahui sosok mereka sebenarnya,” kata dia.
Dia meminta KPK terus melakukan pendalaman terhadap tindak pidana itu. Proses pencalonan juga perlu. Sebab, banyak terjadi dalam mahar politik dalam pencalonan. Para kandidat juga banyak yang menyetor uang untuk mendapatkan rekomendasi.
Safari Politik KPK Berhasilkah?