Jakarta, Aktual.com – Suatu sore, di salah satu ruangan Universitas Al Azhar, saya bersama teman-teman kuliah membedah sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Peter Carey. Seorang sejarawan dari Oxford, Inggris. Beliau meneliti tentang Pangeran Diponegoro selama lebih kurang 30 tahun, kemudian hasil penelitiannya itu diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul Takdir ; Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855.
Secara keseluruhan buku ini menarik, ilmiah dan objektif. Paparan tentang sosio historis dan sosio ekonomi terkait alasan mengapa perang Jawa bisa terjadi, dan pengaruhnya terhadap kemerdekaan Indonesia, ditulis dengan sangat sistematis dan terbuka, membuat kita tidak akan terjebak pada hal-hal yang sifatnya mitos tentang Diponegoro.
Saya sangat antusias mendiskusikan buku ini, karena selain memberikan wawasan baru tentang sosok Diponegoro, juga memberikan motivasi tersendiri bagi diri saya. Sebab di dalam buku ini Pangeran Diponegoro diungkap sebagai sosok yang memiliki alasan ideologis yang begitu kuat, dalam memimpin perang melawan Belanda.
Secara silsilah pewarisan tahta kesultanan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro adalah orang yang memiliki hak paling kuat menjadi Sultan Yogyakarta, menggantikan Hamengkubowono III. Namun beliau tidak berkenan mengambil tahta tersebut dan memilih keluar dari keraton untuk melakukan konfrontasi terbuka dengan Belanda.
Sejak kecil, Pangeran Diponegoro diasuh oleh neneknya, yang bertempat tinggal jauh dari hiruk pikuk keraton, Magelang. Semasa dalam pengasuhan tersebut, Diponegoro dididik dengan nilai-nilai ke Islaman yang begitu kuat. Karena lingkungan pengasuhannya adalah lingkungan pesantren. Sehari-hari waktunya beliau habiskan untuk mempelajari Islam, menguatkan nilai-nilai ketauhidan. Beliau jarang dibawa pulang ke keraton, bahkan dengan waktu hingga bertahun-tahun. Situasi seperti itu terus terjadi hingga beliau tumbuh menjadi dewasa.
Sampai suatu ketika, beliau dipanggil untuk pulang ke Kraton dan bersiap menjadi penerus Sultan Yogyakarta. Maka pulanglah Diponegoro ke Kraton, memenuhi panggilan itu. Namun sesampainya beliau di Kraton Yogyakarta, beliau melihat banyak hal yang aneh. Pertama, gaya hidup penghuni Kraton sudah tidak kental kekratonannya, dimana sebelumnya kental dengan nilai-nilai keislaman, kini telah banyak berubah menjadi banyak bertentangan dengan Islam.
Salah satu bentuknya yakni banyak minuman keras di dalam Kraton. Lalu kedua, saat beliau melihat ada bangsawan Belanda datang ke Kraton, yakni Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal saat itu. Saat kedatangan bangsawan itu, orang-orang Kraton justru menunduk-nunduk kepada bangsawan tersebut, lalu saat bangsawan itu duduk di sebelah sultan, kursi yang disediakan untuk bangsawan Belanda tersebut justru lebih tinggi dibandingkan kursi sultan.
Melihat dua fenomena yang aneh itulah, kemudian Pangeran Diponegoro marah besar, sangat tersinggung dengan kondisi itu. Kemudian beliau pun pergi meninggalkan Kraton dan tidak menerima tahta sebagai sultan Yogyakarta. Tindakannya itu cukup mengejutkan segenap warga Kraton, dan mengejutkan Belanda tentunya.
Kemudian Diponegoro pergi ke wilayah sekitar pantai selatan Yogyakarta. Disana beliau melakukan banyak perenungan, untuk kemudian beliau mengambil sikap untuk melakukan perang terhadap Belanda dan perang terhadap budaya-budaya yang bertentangan dengan Islam, yang disebarkan oleh Belanda. Sejak keputusan itu diambil, beliau mengganti pakaian yang sebelumnya khas Kraton, dengan pakaian jubah putih dan bersurban putih.
Dan mengganti namanya menjadi Abdulhamid Herucakra. Untuk kemudian, beliau digelari pengikutnya sebagai Abdul Hamid Herucakra Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatur Rasul ing Tanah Jawa. Maksudnya sebagai pemimpin umat Islam di tanah Jawa, wakil kekhalifahan yang ada di Turki saat itu. Sejak itulah, meletus perang Jawa. Dengan durasi waktu yang cukup lama, 1825-1830 M. Ini merupakan perang paling lama dan yang paling menghabiskan banyak dana bagi Belanda.
Pengungkapan fakta tentang alasan perang tersebutlah yang cukup menarik. Diponegoro berperang karena ideologi, karena ingin menegakkan Islam di tanah Jawa. Menjadi bagian dari satu kekhalifahan Islam dunia. Bahkan dalam surat-surat saat berkomunikasi dengan para pasukannya, Diponegoro selalu menggunakan bahasa Arab. Nama-nama satuan pasukan juga menggunakan bahasa Arab. Kalau selama ini banyak tulisan-tulisan sejarah yang mengatakan bahwa Diponegoro berperang karena persoalan batas tanah, atau karena persoalan makam leluhur yang terganggu dengan proyek Belanda, maka itu sudah bisa dibantah. Karena sekali lagi, Diponegoro berperang karena faktor ideologi, bukan faktor kebendaan ataupun perebutan tahta kekuasaan.
Berkat perjuangannya itu, kemudian pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/1973. Pangeran Diponegoro ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Dan pada tanggal 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of The world). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang ditulis oleh pangeran Diponegoro sendiri, yang bercerita tentang perjalanan hidup dan perjuangan beliau.
Oleh : Setiyono
(Aktivis Pergerakan)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan