Jakarta, aktual.com – Dalam sejarah Perang Jawa (1825–1830), Pangeran Diponegoro dikenal bukan hanya sebagai pemimpin perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme Belanda, tetapi juga sebagai tokoh yang menjadikan ajaran Islam sebagai landasan ideologi perjuangannya. Bagi Diponegoro, peperangan ini bukan sekadar konflik politik atau militer, melainkan Perang Sabil—perang suci untuk membela dan meninggikan agama Allah (jihad fi sabilillah).
Konsep Perang Sabil yang diusung Diponegoro mengakar pada tradisi umat Islam terdahulu, di mana jihad dipahami sebagai kewajiban membela agama dari ancaman pihak luar. Diponegoro meyakinkan pasukannya bahwa siapa saja yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda akan dihitung sebagai syuhada. Seruan ini mendapat sambutan luas, terutama dari kalangan santri, kiai, dan ulama yang menjadi mayoritas pendukungnya.
Di berbagai daerah, khususnya Tegalrejo, pesan-pesan jihad disebarkan secara intens oleh ulama dan tokoh agama. Mereka menegaskan bahwa melawan kolonialisme berarti melawan kekuatan kafir yang merusak tatanan masyarakat dan menodai kesucian Islam.
Secara garis besar, tujuan Perang Diponegoro adalah mendirikan negara yang berlandaskan hukum-hukum Islam (Balad al-Islam). Perlawanan ini juga menjadi bentuk penolakan terhadap penetrasi kapitalisme, liberalisme, dan dominasi budaya Barat di Jawa. Diponegoro memanfaatkan sentimen agama sekaligus memanfaatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat bawah yang semakin memburuk akibat kebijakan pemerintah kolonial.
Selain ideologi Islam, Diponegoro juga menganut pandangan anti-kafir dan anti-murtad, yang diarahkan pada pihak-pihak yang membantu Belanda. Mereka dianggap sebagai pengkhianat agama dan wajib diperangi. Karena istilah jihad fi sabilillah sulit diucapkan lidah Jawa, Diponegoro mempopulerkan istilah “Sabil” sebagai padanan—artinya perang suci membela kemurnian Islam.
Menurut As’ad (dalam Mustarom, 2014), Perang Jawa memiliki tiga indikator utama:
- Ideologi – Diponegoro menjadikan jihad sebagai landasan melawan kafir.
- Struktur organisasi militer – Diponegoro piawai mengatur pasukan dan menjaga moral mereka.
- Penguasaan medan – Pengetahuan mendalam terhadap wilayah membuat Belanda kerap terkecoh.
Dalam menentukan dasar ideologi jihad, Diponegoro merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an dengan bimbingan penasihat spiritual seperti Kiai Keweron dan Kiai Mojo.
Selama di Tegalrejo, Diponegoro jarang hadir di keraton kecuali pada perayaan besar. Ia lebih sering berziarah ke makam Imogiri atau berkumpul bersama santri dan petani miskin. Ia memandang kehidupan di keraton telah terkontaminasi budaya Barat dan menyerupai masa jahiliyah—masa kemerosotan moral dan kekuasaan yang rakus.
Meyakini dirinya sebagai Ratu Adil, Diponegoro mengganti namanya menjadi Ngabdul Kamid dan meniru penampilan Sultan Turki Abdul Hamid I. Ia mengenakan pakaian serba putih dan sorban, meninggalkan busana kebesaran keraton.
Diponegoro mengadopsi model militer Kesultanan Turki Usmani abad ke-16 hingga ke-18. Divisi elite Bolzuk diadaptasi menjadi “Bulkiyo” untuk pasukan elitnya. Pangkat Ali Pasha diterjemahkan menjadi “Alibasah”, yang digunakan oleh panglima-panglima perang seperti Sentot Prawirodirjo, Kertopengalasan, dan Mohammad Ngusman.
Di bawah Alibasah ada pangkat Basah, kemudian Agadullah untuk komandan setingkat detasemen, dan pangkat terendah adalah Seh yang memimpin satu kompi. Meski mengadopsi unsur militer Turki, Diponegoro tetap mempertahankan sistem militer Jawa.
Panglima Alibasah Sentot Prawirodirjo, meski masih muda, memiliki kemampuan strategi perang yang luar biasa. Diponegoro memilih komandan-komandannya berdasarkan intuisi dan penilaian pribadi, mempercayai mereka sepenuhnya untuk memimpin jihad melawan musuh Islam.
Panji perang yang diusungnya pun juga berlandaskan pada hukum-hukum Islam dan ingin mendirikan suatu negara Islam (Balad al Islam). Sosok Pangeran Diponegoro sedari kecil telah dikenal sebagai pribadi yang saleh dan alim dalam agama Islam, ia lebih sering menyendiri di dalam gua-gua tertentu.
Pada puncak spiritualnya Pangeran Diponegoro mendapatkan ilham sebagai “Ratu Adil” untuk merebut kembali Tanah Jawa dari bangsa kolonial Hindia Belanda. Rasa prihatinnya akan keangkuhan bangsa kolonial yang membawa budaya asing dan merubah tatanan struktural dan ekonomi masyarakat Jawa, sehingga terjadi kemerosotan moral di keraton dan kesengsaraan masyarakat bawah.
Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro mengimbarkan bendera panji perang untuk mengusir para penjajah dari Tanah Jawa.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















