Jakarta, Aktual.com — Pemerintah terus didesak segera meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau ‘Framework Convention on Tobacco Control’ (FCTC) yang diusung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Rupanya, regulasi FCTC mendapat perhatian Panglima TNI Gatot Nurmantyo kala menjadi pembicara di acara Dialog Nasional Munas Kadin ke VIII di hotel Ritz Charlton, Jakarta, Rabu (21/10). Selain Gatot, dalam dialog itu hadir Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Dalam presentasi yang disampaikan, Gatot menyebut bahwa FCTC itu merupakan salah satu ancaman karena menjadi bagian proxy war lantaran FCTC merupakan produk regulasi asing yang kemudian diadopsi sebagai kebijakan atau regulasi yang berimpilikasi pada kondisi ekonomi dalam negeri.
Ia menjelaskan, Proxy war atau Perang proksi merupakan sebuah perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Sementara kekuasaan kadang-kadang digunakan pemerintah sebagai proksi, aktor non-negara kekerasan, dan tentara bayaran, pihak ketiga lainnya yang lebih sering digunakan.
“Dalam FCTC itu jelas diminta hanya rokok putih. Padahal di dalam negeri ada 6,1 juta yang bergantung terhadap industri tembakau. Belum lagi ada aturan larangan rokok aromatik,” ujar Gatot.
Asal tahu saja, FCTC adalah regulasi internasional untuk membatasi penggunaan tembakau. Dalam regulasi ini melarang penggunaan aromatik sebagai campuran untuk rokok. Padahal, pabrik-pabrik rokok di Indonesia memproduksi rokok kretek yang menggunakan cengkeh sebagai campuran sehingga rokok kretek beraroma khas. Tak hanya berdalih soal kesehatan, FCTC juga mengatur terlalu dalam karena mengatur pengalihan tanaman tembakau ke tanaman lain.
Pasar rokok sendiri sangat “seksi” di Indonesia dan rokok putih berkontribusi kecil. Yang ditakutkan adalah kondisinya berbalik, rokok aromatik yang akan dikalahkan oleh rokok putih.
Jadi, menolak FCTC juga merupakan bagian dari sebuah sikap nyata membela negara.
Selain soal isu FCTC, Gatot juga menyinggung ancaman berkaitan dengan laju penduduk yang begitu cepat sementara dari sisi daya tampung sekaligus daya pendukungnya, terutama pangan dan energi fosil kian menipis dan hanya dalam hitungan sekitar belasan tahun lagi akan habis.
Menurut dia, proxy war di Indonesia semakin nyata, seiring dengan pergeseran konflik dunia yang berlatar belakang energi.
“Dengan demikian perang masa kini, berlatar energi bergeser menjadi perang pangan, air, dan energi. Semula perang di wilayah Timur Tengah. Bergeser ke Indonesia, Afrika Tengah, dan Amerika Latin,” jelas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka