Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. (ilustrasi/aktual.com)
Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com — Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyebut ancaman neoliberalisme pada Pancasila bisa melebihi ancaman komunisme melalui bangkitnya Partai Komunis Indonesia.

“Saya ingatkan kebangkitan PKI bukan hanya dilihat di permukaan, tapi di bawah permukaan. PKI berbahaya, tapi yang lebih berbahaya neoliberalisme,” kata Gatot selepas simposium nasional bertajuk “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (2/6).

Gatot mencontohkan neoliberalisme yang mulai menyebar secara luas di Benua Eropa seperti Belanda, Denmark, dan Prancis yang menyebabkan gereja-gereja mulai kosong sehingga rumah ibadah tersebut banyak yang dijual karena tidak ada jemaatnya.

“Dengan adanya proses ini, lama-lama orang jadi ateis akibatnya makin terbukalah dengan ideologi lainnya, masuk ke Indonesia yang bisa berbahaya seperti individualisme, anarkisme, bahkan komunis. Maka dari itu kita harus waspada,” ujar Gatot.

Hal ini menurutnya terjadi juga di Indonesia dengan menjamurnya tempat belanja modern yang menggantikan pasar tradisional yang sejatinya merupakan tempat merekatkan persaudaraan masyarakat Indonesia yang dilandasi dengan jiwa gotong royong.

“Pancasila kalau diperas jadi gotong royong. Gotong royong akan dihilangkan dengan menghilangkan area publik. Maka presiden katakan hidupkan kembali pasar tradisional,” kata Gatot.

Lebih lanjut, Gatot menuturkan untuk menangani isu kebangkitan PKI tidak harus selalu dilihat secara fisik, misalnya dengan menghakimi tanpa proses hukum pihak yang dianggap menghidupkan kembali PKI karena menggunakan atribut-atribut berbau komunis.

Cara menindak oknum yang ditengarai memicu kebangkitan PKI, kata Gatot, ialah bisa dengan mencari akar permasalahannya yang dicontohkannya dengan penyebaran kaus berlambang lambang PKI (palu arit).

“Cari misalnya kalau ada yang pakai kaus, dekati. Belinya di mana, bikinnya di mana, lalu ditelusuri dengan mendatangi toko yang menjual atribut-atribut tersebut dan mencari tahu siapa saja yang memesan. Kita bekerja di bawah, di mana otaknya,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara