Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap pejabat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berinisial S, terkait kasus suap. Setelah sebelumnya, Panitera PN Jakpus Edy Nasution juga terlebih dahulu ditangkap pada April lalu.
Tak hanya PN Jakpus, Panitera pengganti PN Jakut Rohadi pun juga diciduk KPK karena menerima sejumlah uang terkait vonis Saipul Jamil.
Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun mengaku prihatin melihat kejadian ini. Menurut dia, sudah waktunya Mahkamah Agung memilih orang yang profesional, kredibel dan tegas.
“Dengan kata lain harus rombak dan evaluasi ketua dan wakil ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan pimpinan MA. Sudah saatnya MA mencegah lebih jauh terjadinya penyimpangan di wilayah kerjanya,” ujar Gayus di Jakarta, Jumat (1/7).
Lebih lanjut, Gayus menegaskan, apabila MA tidak bisa melakukan pembenahan dengan merombak pimpinan di semua jajaran pengadilan dengan orang-orang yg mampu memimpin petugas-petugas yang ada di wilayah kerjanya, maka Presiden sebagai kepala negara yang harus bertindak menyelamatkan peradilan.
“Karena pada akhirnya bisa mengancam keselamatan negara,” tegas dia.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia itu menilai MA bertanggung jawab dengan deretan kasus yang menimpa panitera pengadilan. MA pun harus mengakui gagalnya pembinaan dan pengawasan terhadap jajaran pengadilan dibawahnya.
“Selama ini kan seolah MA mendalihkan bahwa perbuatan petugas yang menjadikan OTT oleh KPK disebut sebagai oknum tapi dilakukan tidak sendiri-sendiri. Karena bisa saja secara berkelompok seperti yang terungkap pada persidangan kasus di Pengadilan Tipikor. Disana kan disebutkan rekaman BBM yang menyebutkan nama pejabat-pejabat MA yang terlibat,” ungkap Gayus.
Gayus menambahkan, pimpinan MA sudah saatnya bicara terbuka pada masyarakat untuk melakukan pembenahan pada pimpinan-pimpinan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung sendiri sebagai pertanggungjawaban terhadap semakin carut marutnya pelaksanaan kinerja peradilan yang hampir merata terjadi di wilayah Indonesia.
“Sebab kerugian keadilan yang dirasakan masyarakat lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa merupakan kehancuran penegakan hukum, karena pengadilan merupakan benteng terakhir yang paling menentukan terwujudnya keadilan di negara hukum,” tutupnya.
Laporan: Nailin
Artikel ini ditulis oleh: