Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka (kiri) didampingi Anggota Fraksi PAN Teguh Juwarno (kanan) menjawab pertanyaan wartawan usai memimpin rapat perdana Panitia Khusus Pelindo II di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (15/10). Rieke Diah Pitaloka terpilih sebagai Ketua Pansus Pelindo II dan diberi waktu selama 60 hari untuk bekerja, kemudian hasilnya dilaporkan dalam rapat paripurna. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/15

Jakarta, Aktual.com — Ketua Pansus Pelindo II DPR RI, Rieke Diah Pitaloka mengungkapkan adanya kejanggalan prosedur hukum yang diduga dilakukan Direktur Utama (Dirut) Pelindo II RJ Lino.

Dugaan itu, menyangkut atas temuan dari data yang diterima pada proses perpanjangan kontrak konsesi pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta (Jakarta International Container Terminal/JICT) dengan Hutchinson Port Holding (HPH)) yang dilakukan PT Pelindo II.

“Tadi secara tegas disampaikan Jaksa Agung jika legal opinion (LO) yang dipakai itu adalah yang terakhir atas permintaan Pelindo pada 9 Oktober 2014. Tapi ini kan keluar LO nya 21 November 2014. Tetapi kita lihat dari dokumen kontrak Pelindo dengan HPH itu dilakukan sejak 5 Agustus 2014, jadi sebelum LO terakhir keluar sudah diperpanjang kontraknya,” ucap Rieke, di Gedung DPR RI, Senayan, Kamis (29/10).

Ketika ditanyakan, apakah ketidak sinkronan dimana antara perpanjangan dan permohonan yang diklaim sebagai dasar perpanjangan kontrak menujukan adanya pelanggaran hukum?. Politikus PDIP itu menjawabnya dengan normatif saja.

“Kalau dugaan saya kira dengan adanya pansus angket ini karena ada indikasi adanya pelanggaran hukum, UU, dan konstitusi (dalam perpanjangan, red), lantaran keluar dari putusan MK soal pengeloaan dan status BUMN,” ujar dia.

Senada dengan Rieke, anggota Pansus Masinton Pasaribu berpandangan bahwa perpanjangan konsesi dengan menjadikan legal opinion dari Jamdatun adanya perbuatan pengangkangan hukum.

“Kalau pandangan hukum Jamdatun digunakan sebagai dasar hukum, itu melawan hukum dan penyelundupan hukum,” ujarnya, di Gedung DPR RI.

Dia mengatakan LO itu tidak bersifat mengikat dan bukan dasar hukum sebuah kebijakan yang dikeluarkan PT. Pelindo II. Menurut dia, LO itu seolah-olah digunakan RJ Lino sebagai landasan hukum perpanjangan kontrak itu dan dilegitimasi untuk menjalankan kontrak tersebut.

“Pada bulan November 2014 dimintakan opini oleh Pelindo II ke Jamdatun lalu keluar LO. Itu digunakan sebagai landasan hukum padahal bukan namun harus mengacu UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran,” tandas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang