Jakarta, Aktual.com — Pansus Angket Pelindo II DPR RI harus terfokus pada pembatalan perpanjangan konsesi JICT yang dilakukan Direktur Utama (Dirut) Pelindo II RJ Lino dengan Hutchison Port Holding (HPH). Terlebih, adanya dugaan pelanggaran hukum terkait perpanjangan tersebut.
“Pansus harus mengusut tuntas indikasi pelanggaran pidana dan potensi suap di balik keputusan sepihak perpanjangan JICT, serta harus menemukan adannya pihak yang membekingi keputusan perpanjangan JICT tersebut,” kata peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajdah Mada (UGM), Fahmi Radhy saat dihubungi, di Jakarta Rabu, (4/11).
Dikatakan Fahmi, keputusan RJ Lino memperpanjang konsesi yang diputuskan sepihak, berpotensi merugikan Negara. Perpanjangan JICT merugikan negara karena nilainya mencapai 215 juta dolar Amerika Serikat (AS), lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar 231 juta dolar AS.
Menurut dia, jika tidak diperpanjang dan 100 persen saham dimiliki Pelindo II, maka negara akan memperoleh potensi pendapatan sekitar Rp30 triliun per tahun dengan perpanjangan tersebut.
Tidak hanya itu, perpanjangan JICT dilakukan melalui kontrak tertutup sehingga melanggar prinsip transparansi, karena itu tidak dimungkinkan tercapainya harga optimal dan berpotensi adanya suap dibalik keputusan perpanjangan kontrak tersebut.
Sedangkan, terkait keputusan sepihak RJ Lino memperpanjang kontrak JICT juga tanpa persetujuan Dewan Komisaris, dinilai melanggar mekanisme pengambilan keputusan BUMN.
“Perpanjangan JICT mengabaikan rekomendasi Asosiasi Logistik Indonesia (ALI). Perpanjangan kontrak sangat berisiko dan merugikan negara,” tandas dia.
Untuk diketahui, rapat Pansus Pelindo II DPR sudah sempat meminta keterangan dari Jaksa Agung HM Prasetyo. Dalam rapat tersebut, Jaksa Agung membantah memberikan ijin perpanjangan kontrak JICT kepada Pelindo II, dan hanya memberikan legal opinion yang sempat dimintakan oleh Dirut Pelindo II RJ Lino kepada Jamdatun Kejaksaan Agung.
Artikel ini ditulis oleh:
Novrizal Sikumbang