Mohammad Natsir (istimewa)

Yogyakarta, Aktual.com – Ditengah menghangatnya tensi perpolitikan nasional, umat Islam Indonesia saat ini didera tudingan dan keterpojokan karena dianggap sebagai pihak yang anti terhadap kebhinekaan.

“Jangan ajari umat Islam tentang kesetiaan terhadap NKRI dan menjaga persatuan dan kesatuan,” tegas Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN Yogyakarta, Kawan Nazaruddin, Jumat (25/11).

Menurutnya, rakyat Indonesia sekarang bisa bersatu dalam bingkai NKRI lantaran jasa besar seorang tokoh Islam pejuang kemerdekaan sekaligus pendiri Partai Masyumi, Mohammad Natsir lewat mosi integralnya untuk kembali ke konsep negara kesatuan, “Itu momen penting dan krusial yang tidak boleh dilupakan,” kata dia.

Saat itu Natsir melakukannya dengan cara yang tidak mudah disaat sistem pemerintahan masih berbentuk federal. Natsir gencar lakukan lobi-lobi politik di parlemen meski alami banyak penolakan. Bahkan, dia sempat menolak jabatan Menteri Penerangan, salah satu alasannya karena tak setuju Irian Barat tidak dimasukkan ke dalam RIS.

Termasuk lobi ke negara-negara bagian, Natsir berhasil memperoleh komitmen para pemimpin fraksi di Parlemen RIS seperti IJ Kasimo (Partai Katolik) dan AM Tambunan (Partai Kristen). Hasilnya, negara-negara bagian itu bersedia bersatu dengan Republik Indonesia.

“Tapi umat Islam atau kelompok-kelompok Islam saat ini sering dibenturkan dengan kesetiaan terhadap NKRI, kebhinekaan dan lain-lain. Seolah umat Islam itu masih diragukan apresiasi dan kesetiaannya terhadap NKRI,” imbuh Nazaruddin.

Pihak yang membenturkan baginya tak lain kepentingan-kepentingan yang mewakili Islamophobia yang bersarang di tubuh di rezim saat ini, ada upaya-upaya pelemahan kekuatan Islam. Bagi mereka, Islam masih dianggap rival membahayakan lantaran gagal paham dan tidak bisa menarik batas antara kepentingan Islam politik dengan Islam secara luas.

Dalam kasus Ahok, sambungnya, rezim memposisikan demo-demo yang terjadi merupakan ulah Islam politik. Padahal, tidak mungkin menurutnya orang begitu banyak bisa digerakkan hanya karena kepentingan politik. Kasus Ahok dinilai tidak sekedar wilayah itu tapi jauh lebih luas, menyangkut ketersinggungan aqidah.

“Terlepas dari pemahaman itu benar atau salah. Dan yang membuat keadaan lebih parah, tokoh dan golongan Islam yang membela Ahok juga gagal paham dengan memposisikan masalah ini pada konteks tafsir semata,” tandasnya.

Laporan: Nelson Nafis

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Nebby