London, Aktual.com – Pemenang Hadiah Nobel, termasuk Malala Yousafzai dan Muhammad Yunus, mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa menggunakan “semua sarana yang ada” demi mengakhiri kekerasan di Myanmar yang memaksa 400 ribu Muslim Rohingya lari ke Bangladesh.
Pelarian etnis Muslim Rohingya dimulai setelah serangkaian serangan militan Rohingya memicu respons militer di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Lembaga hak asasi manusia PBB sempat mengatakan hal tersebut sebagai contoh tertulis tentang pembersihan etnis.
“Kami mendesak Anda untuk mengambil tindakan tegas menghentikan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersalah,” ujar Yousafzai dan 29 orang lainnya, termasuk Uskup Agung Desmond Tutu dan miliyuner Richard Branson asal Inggris dalam sebuah surat terbuka kepada Dewan Keamanan PBB, seperti diberitakan reuters, Rabu (14/9).
“Desa-desa telah dibakar, perempuan diperkosa, banyak warga sipil ditangkap secara sewenang-wenang, dan anak-anak terbunuh,” ungkap para pemenang Nobel tersebut.
Permohonan tersebut diajukan saat Dewan Keamanan dijadwalkan bertemu secara tertutup untuk kedua kali sejak krisis meletus pada Agustus dan menambah tekanan yang dihadapi pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi.
Kritikus mengatakan Suu Kyi, yang juga seorang pemenang Nobel, harus menanggalkan hadiahnya, karena gagal berbuat lebih banyak untuk mengakhiri perselisihan tersebut.
Kantor Suu Kyi mengatakan bahwa dia telah membatalkan perjalanannya ke PBB akibat krisis tersebut.
Laporan dari para pengungsi dan kelompok hak asasi manusia memberi gambaran serangan yang meluas di desa Rohingya di utara negara bagian Rakhine oleh pasukan keamanan dan etnis Buddha Rakhine, yang telah membakar banyak desa Muslim.
Namun pihak berwenang Myanmar telah menyangkal bahwa pasukan keamanan, atau warga sipil Buddha yang memulai terjadinya kebakaran, dan menyalahkan gerilyawan tersebut.
Myanmar telah membatasi sebagian besar akses lembaga bantuan di wilayah utara Rakhine, dengan beberapa pejabat yang menuduh pemberi bantuan bertindak mendukung pemberontak.
Surat tersebut meminta pemerintah Myanmar untuk melaksanakan rekomendasi sebuah komisi yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan untuk memberikan kewarganegaraan Rohingya dan kebebasan gerak.
Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai migran ilegal dari Bangladesh, meskipun banyak dari warga Rohingya yang telah tinggal di negara tersebut dari generasi ke generasi.
“Pemerintah Myanmar perlu diberi tahu bahwa dukungan dan keuangan internasional bergantung pada perubahan kebijakan yang besar terhadap Rohingya,” kata para pemenang Nobel tersebut.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: