Jakarta, Aktual.Com – Menpar Arief Yahya menempatkan peran CEO atau Gubernur, Bupati, Walikota, itu menentukan 80% kesuksesan daerah dalam membangun destinasi wisata. Di awali dengan komitmen orang nomor satu di daerah itu, maka semua program dengan mudah akan berjalan. Begitu pun sebaliknya. “Karena tugas pemimpin itu menentukan arah dan mengalokasikan sumber daya!” kata Mantan Dirut PT Telkom Indonesia yang ahli Strategic Management itu.

Dia mencontohkan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan Gubernur Sulut, Olly Dondokambey. Dua CEO itu bisa dijadikan contoh dalam men-drive pariwisata sebagai core business bagi daerahnya. “Hasilnya luar biasa. Sulut hebat, dapat mendatangkan wisman Tiongkok. Banyuwangi sangat kuat membangun pariwisata sebagai backbone ekonomi daerahnya,” katanya.

Pariwisata, menurut dia, sudah dijadikan prioritas oleh Presiden Joko Widodo, selain infrastruktur, maritim, pangan dan energi. Pariwisata bahkan dijadikan core economy bagi Republik ini ke depan, karena komoditas yang paling sustainable, paling menyentuh ke level bawah masyarakat dengan share economy, dan performance setiap tahunnya menanjak, hanya pariwisata. Minyak dan gas bumi, batu bara, kelapa sawit terus merosot.

Di pusat, pariwisata sudah menjadi leader di beberapa program yang menyangkut infrastruktur, transportasi, BUMN, Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Apa saja yang diputuskan presiden langsung ditindaklanjuti di level kementerian secara incorporated. Inilah yang juga harus terjadi di daerah, terutama yang punya potensi wisata, dan sudah menempatkan diri sebagai destinasi wisata. Apakah masih ragu? Sehingga enggan melangkah? “Pariwisata itu penyumbang PDB, Devisa dan Lapangan Kerja yang paling mudah dan murah. Bank Dunia mempertegas, bahwa pariwisata punya prospek paling bagus untuk menarik investasi ke Indonesia. Setiap spending USD 1 Juta di sektor pariwisata, menghasilkan PDB USD 1,7 Juta atau 170%, tertinggi dibanding industri lainnya,” jelas Arief Yahya.

Dari sisi PDB, Pariwisata menyumbangkan 10% PDB nasional, dengan nominal tertinggi di ASEAN. PDB pariwisata nasional tumbuh 4,8% dengan trend naik sampai 6,9%, jauh lebih tinggi daripada industri agrikultur, manufaktur otomotif dan pertambangan.

Dari sisi devisa, pariwisata peringkat ke-4 penyumbang devisa nasional, 9,3%. Pertumbuhan penerimaan devisa pariwisata tertinggi, yaitu 13%, dibandingkan migas, batubara, dan kelapa sawit yang negatif. “Biaya marketing yang diperlukan hanya 2% dari proyeksi devisa yang dihasilkan,” ungkapnya.

Bagaimana dengan tenaga kerja? Pariwisata adalah penyumbang 9,8 juta lapangan pekerjaan, atau sebesar 8,4% secara nasional dan menempati urutan ke-4 dari seluruh sektor industri. Dalam penciptaan lapangan kerja, sektor pariwisata tumbuh 30% dalam waktu 5 tahun. “Pariwisata itu pencipta lapangan kerja termurah, dengan USD 5.000/satu pekerjaaan, dibanding rata-rata industri lainnya sebesar USD 100.000/satu pekerjaan,” paparnya.

Reputasi lain, Country Brand Wonderful Indonesia yang semula tidak masuk ranking di dunia, tahun 2015 melesat lebih dari 100 peringkat menjadi ranking 47, mengalahkan Truly Asia Malaysia (ranking 96) dan country branding Amazing Thailand (ranking 83). Country branding Wonderful Indonesia mencerminkan Positioning dan Differentiating Pariwisata Indonesia. “Karena itu harus ada spirit Indonesia Incorporated. Negara ini hanya akan dapat memenangkan persaingan di tingkat regional dan global apabila seluruh Kementerian/Lembaga sampai ke CEO Commitmen daerah yang ada bersatu padu untuk fokus mendukung Core Business yang telah ditetapkan. Maju Serentak Tentu Kita Menang,” jelas Marketeer of The Year 2013 oleh MarkPlus itu.

Arief Yahya pernah menulis Message ke-5, yang setiap Rapim dia sampaikan ke para Eselon I dan II Kemenpar. Ada baiknya, catatan itu dibaca lagi bagi para pimpinan daerah baik Gubernur, Bupati, Walikota yang masih ragu. Juga buat korporasi yang akan memilih CEO baru. Pastikan dia seorang yang commited. Berikut catatan itu:

CEO Message #5
First Who, Then What
Pilih orangnya dulu, kemudian katakan keinginanmu…

CEO Message minggu ini saya masih membahas tentang values yang menyangkut human capital yakni prinsip First Who then What.

Jim Collins dalam buku Good to Great menyebutkan bahwa terdapat dua proses besar untuk menggulirkan perubahan di dalam organisasi yang hebat (disebut organisasi Good to Great). Proses pertama adalah “build up” yang terdiri dari: Level 5 Leadership, First Who then What, dan Confront the Brutal Facts. Proses kedua adalah “breakthrough” yang terdiri dari: Hedgehog Concept, Culture of Discipline, dan Technology Accelerators.

Khusus mengenai First Who then What, banyak pemimpin yang lebih memilih pendekatan First What then Who. Mereka seringkali terjebak. Mereka sering mengatakan tetapkan visi, misi, dan strategi, baru kemudian dipilih orang-orangnya.

Ketahuilah, kalau Anda mengambil pilihan itu, berarti Anda masih menjalankan Kepemimpinan Level 4 (Level 4 Leadership). Untuk mencapai Kepemimpinan Level 5 (Level 5 Leadership) Anda akan memilih First Who then What.

Di Mulai dengan “Siapa”

Dalam organisasi Good to Great, yang terpenting adalah memilih orang-orang (“who”) terlebih dulu, dibandingkan menetapkan apa yang harus dilakukan (“what”).

Bila diilustrasikan dengan sebuah bus, maka transformasi organisasi Good to Great bukan dimulai dari membayangkan ke arah mana bus akan meluncur dan kemudian mencari orang-orang yang mengemudikannya untuk menuju ke sana. Tetapi yang pertama-tama dilakukan justru mencari orang yang tepat untuk disertakan dalam bus dan baru kemudian membayangkan ke mana bus tersebut akan berjalan.

Karena itu, hal pertama yang harus dilakukan oleh pemimpin hebat (pemimpin Good to Great) dalam memulai transformasi adalah menempatkan orang yang tepat di dalam “bus”-nya. Pemimpin Good to Great menggunakan tiga prinsip dalam memulai sebuah proyek transformasi organisasi.

Pertama, ia selalu memulai transformasi dengan “siapa” (who) daripada “apa” (what). Hal ini memungkinkan si pemimpin untuk beradaptasi terhadap perubahan, seekstrim apapun perubahan yang dihadapi organisasi.

Kedua, bila pemimpin Good to Great mempunyai orang yang tepat berada di dalam “bus”, maka ia tahu persis bahwa sebagian masalah sirna dengan sendirinya, terutama masalah yang terkait dengan memotivasi dan mengelola orang. Ya, karena orang yang tepat akan memotivasi dirinya sendiri untuk selalu memberikan hasil yang terbaik bagi organisasi.

Ketiga, ia juga tahu persis bahwa organisasi dengan arah yang tepat namun diisi dengan orang-orang yang tidak tepat, tidak akan pernah menciptakan organisasi yang hebat (great organization). Kata Jim Collins, “great vision without great people is irrelevant.”

Ruthless vs Rigorous
Organisasi-organisasi yang menerapkan prinsip First Who then What tidak memiliki budaya yang kejam (ruthless), melainkan tegas (rigorous).

Ruthless berarti mengganti orang sembarangan tanpa pertimbangan yang matang. Di sini si pemimpin membiarkan orang tetap bekerja padahal mereka banyak membuang waktu berharganya. Sementara pada saat yang bersamaan sebenarnya ia memiliki kesempatan untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih baik.

Sedangkan rigorous berarti si pemimpin secara konsisten menerapkan standar yang tepat pada setiap kesempatan dan tingkatan. Orang-orang terbaik tidak perlu merasa khawatir atas posisinya dan dapat berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya.

Bagaimanakah cara bersikap rigorous? Pertama, ketika ragu terhadap orang yang akan direkrut, maka jangan keburu diterima, tetaplah mencari yang terbaik.

Untuk tumbuh, perusahaan jangan hanya fokus pada pasar, teknologi, dan kompetisi. Perusahaan sebaiknya berkonsentrasi pada pencarian orang-orang hebat dan sebaik mungkin mempertahankannya.

Ingat Hukum Packard (berasal dari nama David Packard, salah satu pendiri Hewlett-Packard) yang mengatakan: “No company can grow revenues consistently faster than its ability to get enough of the right people to implement that growth and still become a great company.” (Tidak satupun perusahaan dapat menumbuhkan pendapatan secara konsisten lebih cepat dibanding kemampuannya memilih orang-orang yang tepat untuk mengimplementasikan pertumbuhan tersebut dan masih menjadi perusahaan hebat)

Kedua, ketika Anda tahu bahwa perlu dilakukan perubahan orang, maka lakukanlah. Orang-orang hebat tidak perlu diatur, namun cukup dibimbing dan diberi pengertian. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak tepat, yang tetap berada di dalam organisasi? Ketika Anda membiarkan orang-orang yang tidak tepat tetap berada di posisinya, maka hal itu akan merepotkan seluruh tugas kepemimpinan Anda.

Orang-orang yang tidak tepat akan selalu menjadi pikiran bagi Anda dan seringkali menghabiskan energi Anda. Dalam melakukan perubahan, lakukanlah segera, jangan menunggu. Seringkali perubahan orang ini ditunda-tunda disebabkan ketidaknyamanan untuk mengganti orang-orang yang tidak tepat. Celakanya, hal tersebut seringkali berdampak pada orang-orang yang tepat.

Perusahaan Good to Great tidak memiliki teori “try a lot of people and see who works”, coba-coba merekrut sebanyak mungkin orang, lantas dilihat mana yang bagus. Mereka menggunakan waktunya untuk mencari orang yang sangat tepat untuk suatu posisi.

Ketiga, tempatkan orang-orang terbaik Anda pada peluang terbesar, bukan pada masalah terbesar.
Sebagai pemimpin, satu hal ini harus kita camkan: “When you decide to sell off your problems, don’t sell off to your best people (bila Anda memutuskan untuk mengobral masalah Anda, janganlah mengobralnya kepada orang-orang terbaik Anda).

Organisasi Good to Great memiliki kebiasaan menempatkan orang-orang terbaiknya pada peluang terbesar, bukan masalah terbesar. Jajaran pemimpin dari organisasi Good to Great terdiri dari orang-orang yang sangat bersemangat untuk saling berdebat dalam rangka mendapatkan solusi terbaik; dan mereka solid mendukung begitu solusi terbaik tersebut sudah diputuskan.

Di sini Anda membutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat berdebat dan memiliki argumen (bukan “yes man”) untuk memperoleh jawaban terbaik di satu sisi. Namun di sisi lain, mereka juga secara penuh dan komitmen tinggi mendukung setiap keputusan yang telah dibuat. Jadi mereka bukanlah problem maker yang sibuk kasak-kusuk dan berpolitik untuk memancing di air keruh.

Menutup CEO message ini saya ingin mengutip sekali lagi kata-kata bijak Jim Collins, “the right people are your most important assets.” Orang-orang yang tepat adalah aset terpenting dari sebuah organisasi. Dan ingat, orang-orang yang tepat tersebut lebih banyak ditentukan oleh karakter (character) dan kapabilitasnya (capability) dibandingkan pengetahuan spesifik (knowledge) ataupun keahliannya (skill).
Akhirnya saya berharap bahwa organisasi yang kita cintai ini bisa mengimplementasikan prinsip First Who then What dan mampu menempatkan orang-orang terbaik di posisi-posisi terbaik.

Dengan orang-orang terbaik yang kita miliki, saya yakin Kemenpar akan menjadi organisasi Good to Great dengan kinerja yang luar biasa. Mari kita wujudkan organisasi yang kita cintai ini menjadi kementerian terbaik di negeri ini.
Salam Pesona Indonesia!

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs