Yogyakarta, Aktual.com – Analis pidana politik UII Yogyakarta, Abdul Kholiq mengaku tak terkejut atas kembali terjadinya penangkapan pada sejumlah tokoh dengan tuduhan pidana makar.
“Saya tidak heran atas tuduhan yang dijeratkan karena memang pasal ini mudah untuk digunakan, pembuktiannya relatif gampang bagi aparat,” ujarnya, Jumat (2/11).
Diketahui, setelah diciduk dini hari tadi, tujuh orang diancam pasal 107 juncto 110 juncto 87 KUHP tentang pidana makar, selebihnya satu orang pasal 207 KUHP serta dua lagi pasal 28 UU ITE.
Menurut Kholiq, frasa ‘mufakat’ melakukan kejahatan makar dalam pasal 110 KUHP memang terbilang mudah untuk dibuktikan, sebab baru tahapan niat saja sudah dapat dikategorikan perbuatan persiapan makar, tidak harus sampai tahap permulaan dimana telah ada aksi.
“Kelemahan hukum seperti inilah yang mendorong penguasa dalam sejumlah periode pemerintahan terlalu mudah melontarkan tuduhan makar, melakukan antisipasi yang berlebihan,” kata dia.
Baca: Barisan Tertuduh Makar Oleh Penguasa Pasca Reformasi (http://www.aktual.com/barisan-tertuduh-makar-oleh-penguasa-pasca-reformasi/)
Belum lagi pemahaman makna mufakat, sambungnya, yang sesungguhnya terdistorsi dengan prinsip kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat yang itu sangat dijamin oleh konstitusi.
Dalam hukum pidana politik, pasal delik makar memang kerap dimanfaatkan penguasa, konstruksi hukumnya sangat rentan dipolitisir. Akibatnya, demokrasi menjadi terancam dan masyarakat mudah terteror, “Itu yang harus dijaga,” imbuh Kholiq.
Sebagai peninggalan kolonial Belanda, pasal ini awalnya dimaksudkan mengendalikan pemerintahan mereka agar status quo tetap stabil dan mapan. Namun, pasca kemerdekaan dimana demokrasi dijunjung tinggi, diperjuangkan berdarah-darah lewat reformasi, pasal ini bagi Kholiq dinilai sudah tidak layak.
“Saya rasa pasal ini perlu dipertimbangkan ulang dengan matang, tujuan menggagas ulang KUHP kan untuk mengganti KUHP peninggalan kolonial Belanda.”
Kalaupun ingin dipertahankan, dia mengimbau tidak dengan konsep yang konstruksinya delik formil atau delik yang tidak butuh akibat, melainkan diubah jadi delik materiil. “Artinya, kalau orang mau disebut makar harus terjadi betul pemakaran itu,” pungkasnya. (Nelson Nafis)
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis