Jakarta, Aktual.com – Demonstrasi yang dilakukan oleh mitra pengemudi ke kantor Grab belum lama ini, menunjukkan betapa kuatnya arus dinamika di industri digital. Padahal, sebelum-sebelumnya demonstrasi dilakukan oleh pengemudi transportasi konvensional yang menolak eksistensi layanan transportasi online. Meski kemudian terjadi kompromi. Terutama setelah incumbent di sektor transportasi menjalin kerja sama dengan layanan ride hailing.
Gojek beraliansi dengan Blue Bird, lalu Uber bekerjasama dengan Taksi Ekspres untuk layanan pemesanan taksi. Selain diplomasi dalam bentuk aliansi, redanya ketegangan antara taksi online vs konvensional juga berkat upaya pemerintah memediasi kedua ekosistem industri yang datang dari dunia berbeda tersebut.
Dinamika internal di layanan pemesanan transportasi online itu, mengonfirmasi masih banyak isu yang belum selesai. Terutama soal kue ekonomi. Isu utama yang juga jadi motivasi yang menyedot animo para pengemudi bergabung dengan aplikasi yang secara teknis justru bukan perusahaan transportasi.
Tsunami Fintech
Pemerintah tampaknya belajar banyak dari dinamika di lingkup ride hailing itu dalam menghela berbagai sektor pendukung industri digital di tanah aiur. Belum lama ini, Presiden Joko Widodo memberikan warning, yang bukan cuma ditujukan kepada jajarannya namun juga kepada seluruh elemen yang terlibat di industri digital. Terutama di industri teknologi keuangan atau familiar kita sebut dengan fintech.
Perhatian Jokowi bahkan ditumpahkan di ajang pertemuan global Annual Meeting IMF- World Bank yang digelar di Bali. Dalam sesi pindatonya di paggung Bali Fintech Forum, Presiden mewanti-wanti agar fintech disambut dengan tangan terbuka dan direspons secara tepat.
“Jadi kita harus sikapi gelombang inovasi dengan regulasi yang lembut dan ruang yang aman bagi inovasi,” ujar Presiden menyikapi demam fintech yang melanda pelaku industri digital di Indonesia. Demam yang memunculkan pameo ‘semua akan fintech pada waktunya.’
Menariknya, pertemuan tahunan dua lembaga keuangan global tersebut mencanangkan Bali Fintech Agenda. Sebuah blueprint yang memuat dua belas elemen kebijakan yang disusun untuk memandu negara-negara di dunia agar menangkap dan mengembangkan berbagai peluang industri keuangan digital. Bali Fintech Agenda didapuk sebagai acuan bagi industri fintech global.
Fintech merupakan industri katalisator yang amat ampuh mengakselerasi industri digital. Di tingkat pelaku industri, ekosistem digital dapat mengembangkan aneka varian produk dijembatani oleh fitnech. Bagi mayarakat, fintech membuka akses dan berbagai peluang ekonomi baru. Senyampang dengan penerimaan masyarakat yang semakin terbuka mengadopsi teknologi digital dalam ragam aktivitas ekonomi sehari-hari.
Di Indonesia, industri ini sedang tumbuh pesat. Saking kuatnya godaan fintech, berbagai perusahaan melabuhkan sauh bisnisnya ke sini. Termasuk startup yang telah eksis dan sebelumnya menggarap ecommerce, ride hailing hingga online travel agent.
Wajar bila pesona fintech bahkan disebut-sebut menyalip pertumbuhan online retail. Padahal, ecommerce bisa dikatakan pelopor yang mengintroduksi gelombang ekonomi digital di negeri ini.
Ringkasnya, peran fintech sangat dibutuhkan untuk mendorong inklusi keuangan di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia masuk tujuh besar negara di dunia yang tak punya rekening bank. Mengutip data Bank Dunia, dalam hal tingkat kepemilikan rekening tabungan atau Financial Inclusion Index, sebanyak 40% dari total penduduk Indonesia tidak memiliki rekening.
Selain itu, tingkat literasi keuangan masyarakat masih terbatas. Menurut Otoritas Jasa Keuangan, baru 31% masyarakat Indonesia yang paham produk-produk industri keuangan. Data-data sektor keuangan ini menyedihkan. Negara sebesar Indonesia dengan berbagai potensi ekonomi, terkendala oleh persoalan akses ke sumber-sumber pembiayaan dan minim pengetahuan tentang keuangan.
Sikap pemerintah yang tampak amat hati-hati dan memberi ruang bagi fintech untuk berkembang merupakan langkah tepat. Pidato Presiden harus ditangkap oleh jajaran di bawahnya agar fintech tumbuh dengan segenap potensi yang dimilikinya tanpa hambatan apapun. Kita belajar dari dinamika di sektor ride hailing. Ketika GoJek, Uber dan Grab mengguncang industri transportasi.
Begitulah kegesitan industri digital. Ia lihai berasimilasi dengan sektor industri manapun. Kuncinya cuma satu, industri lawas membuka diri mengadopsi industri digital. Sebaliknya, bila para incumbent yang dituju menyambut dengan setengah hati, atau bahkan memperlihatkan respons resisten, maka siap-siap saja digulung oleh gelombang tsunami digital.
Akhirnya, wanti-wanti dari pidato Jokowi agar fintech disikapi dengan sentuhan lembut (light touch), adalah sebuah peringatan dini (early warning). Agar semua pihak memasang kuda-kuda menyongsong era fintech. Bukan kuda-kuda untuk bertarung dan saling menjatuhkan. Namun kuda-kuda untuk menunjukkan pesona sinergi antar industri yang berasimilasi dengan gelombang digitalisasi.
Oleh : Jusman Dalle
(Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital)