Bandung, aktual.com – Ditengah hadirnya metode parkir digital yang baru saja dilaunching Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, jangan lupa kalau Kota Bandung telah memiliki 455 mesin parkir elektronik di 221 titik di 57 lokasi yang dipasang tahun 2016 silam pada masa era kepemimpinan Ridwan Kamil. Bahkan, tidak tanggung-tanggung sampai menyedot anggaran APBD diangka Rp 80 milyar.

Kini, mesin parkir elektronik tersebut hanya rangka yang menghiasi sudut-sudut jalan di Kota Bandung. Padahal, digadang-gadang mesin parkir itu cukup canggih serta diharapkan  dapat mengatasi permasalahan parkir liar. Namun anehnya, meski memiliki spek yang cukup modern, namun dalam pengoperasiannya masih melibatkan sekitar 700 juru parkir. Hal tersebut, tentu saja sangat bertolak belakang dengan konsep mesin elektronik yang seharusnya dapat meminimalisir jasa juru parkir.

Sayangnya lagi, kehadiran mesin parkir elektronik hingga kini masih belum jelas peruntukannya. Padahal, sudah memakan anggaran yang cukup besar dalam pengadaannya, satu unit mesin yang dipakai yaitu Rp 125 juta.

Pakar sekaligus Pemerhati Tata Kota Frans Ari Prasetyo menyebut mesin parkir elektronik tersebut merupakan nisan di kuburan smartcity. Ia mengatakan, mayoritas mesin parkir elektronik di Kota Bandung gagal berfungsi untuk melayani warga.

“Hanya ada beberapa mesin elektronik yang beroperasi dan itu pun harus tetap menggunakan bantuan tukang parkir. Keberadaannya pun rata-rata hadir di jantung kota, namun lagi-lagi tidak beroperasi secara konsisten,” ujarnya.

Frans juga memaparkan, bahkan Pemkot Bandung sendiri hampir tidak memiliki data akurat tentang urusan perparkiran. Apalagi menyangkut keberadaan tukang parkir liar yang entah bagaimana bisa muncul disetiap ruas jalan.

Maka dari itu, Frans menegaskan, seharusnya segera dilakukan Pemkot Bandung adalah membenahi sistem perparkiran jalanan.

“Bisa dimulai dari pendataan ulang kondisi dan petensinya, terlebih menaikan tarif tanpa memperbaiki layanan dan jelas itu bukan pilihan tepat. Ada sekian banyakhal mendesak yang harus dirumuskan ulang dalam urusan perparkiran ini,” beber Frans.

Keberadaan mesin parkir tersebut, menurut Frans, semestinya didukung oleh sistem keamanan yang terintegrasi dengan sistem informasi kota. “Apalagi, Bandung sebagai smartcity berbasis data pengguna, alangkah baiknya digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan publik yang kemudian laporannya dapat diakses secara transparan,” imbuh Frans.

Selain itu, Frans juga mengatakan selain patuh pada undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan, proyek mesin parkir elektronik merujuk pada aturan tata ruang kota Bandung.

“Terutama rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi, akses parkir juga sangat terkait dengan transportasi dan pemukiman, maka salah besar jika pembangunan dan pengelolaannya dilakukan demi urusan pusat kota, pertokoan, atau destinasi wisata saja. Maka berapa banyak kerugian yang dialami warga dari pembangunan yang akhirnya mangkrak dengan anggaran yang tidak sedikit,” tuturnya.

Salah seorang tukang parkir dikawasan Jalan Braga, Tisno mengaku mesin parkir elektronik yang ada area Braga tidak banyak digunakan. “Dari ratusan kendaraan yang parkir per harinya, paling banyak hanya 5 kendaraan yang menggunakan mesin parkir elektronik, itu juga masih dibantu saat menggunakannya,” kata Tisno.

Dan kini, awal Oktober 2024 lalu Pemkot Bandung menerapkan parkir digital melalui QRIS yang dipasang pada rompi tukag parkir. Namun, lagi-lagi kesiapan belum maksimal. Sehari setelah diterapkan salah satunya dikawasan Jalan ABC, semua juru parkir di Jalan ABC tidak menggunakan rompi khusus bergambar QRIS yang telah dibagikan Dishub Kota Bandung. Mereka juga tampak menerima pembayaran tunai, tidak melalui digital. Terulang lagi, bagaimana peraturan yang diterapkan belum maksimal yang hanya menghabiskan anggaran.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano