Jakarta, Aktual.com – Pakar Bedah Onkologi dari Universitas Indonesia, Dr. Walta Gautama Said Tehuwayo, Sp.B.Subsp.Onk(K), memberikan panduan kepada pasien kanker terkait konsumsi makanan dingin setelah menjalani sesi kemoterapi sebagai langkah pencegahan efek mual dan muntah.

Dalam pernyataannya di Jakarta pada hari Rabu (23/8), Dr. Walta menjelaskan, “Setelah menjalani kemoterapi, disarankan untuk mengonsumsi makanan dingin. Jika pasien merasa mual, sebaiknya jangan minum air hangat.”

Dr. Walta berbagi pengalaman tentang seorang kerabat yang mengalami mual berlebihan setelah menjalani kemoterapi karena kanker kolon atau usus. Ia memberikan saran kepada kerabat tersebut untuk mencoba mengonsumsi makanan dingin, seperti es cincau atau cendol, yang dapat ditemukan di penjual di sekitar rumah.

Hasilnya, sang kerabat mengikuti saran Dr. Walta dan mengaku bahwa mualnya berkurang setelah mengonsumsi makanan dingin.

“Dalam menjalani kemoterapi, terutama di sesi pertama dan kedua, mual dan muntah bisa menjadi masalah. Solusinya adalah dengan banyak mengunyah makanan selama menjalani kemoterapi untuk merangsang kerja organ pencernaan. Saya juga menyarankan untuk mengonsumsi buah potong kecil-kecil atau es krim,” jelas Dr. Walta.

Lebih lanjut, Dr. Walta menjelaskan bahwa kemoterapi umumnya dijalani setiap tiga minggu, karena sel kanker memiliki kemampuan untuk membelah diri dalam rentang waktu sekitar 20 hingga 100 hari. Oleh karena itu, ia mengingatkan pasien untuk menjalani kemoterapi sesuai jadwal yang ditentukan.

Kemoterapi merupakan metode pengobatan kanker dengan memberikan zat kimia tertentu untuk menghambat atau membunuh sel kanker. Meskipun memiliki efek samping yang berbeda-beda pada setiap pasien, seperti mual, muntah, diare, rambut rontok, kehilangan nafsu makan, kelelahan, demam, luka di mulut, nyeri, sembelit, dan mudah memar.

Pada beberapa kasus, kemoterapi dapat menyebabkan masalah yang lebih serius, seperti penurunan drastis pada jumlah sel darah putih, yang berpotensi menyebabkan risiko infeksi yang parah. Meskipun demikian, tidak semua pasien kanker perlu menjalani kemoterapi, melainkan melalui pendekatan terapi yang disesuaikan dengan karakteristik kanker masing-masing individu.

“Setiap pasien dengan tahap kanker yang sama dan usia yang sama, belum tentu memerlukan jenis terapi yang sama. Inilah yang disebut personalized medicine,” tutup Dr. Walta.

Artikel ini ditulis oleh:

Warto'i