A worker walks in between oil barrels at Pertamina's storage depot in Jakarta in this January 26, 2011 file photo. To match Special Report CHINA-CORRUPTION/INDONESIA REUTERS/Supri/Files (INDONESIA - Tags: ENERGY BUSINESS)

Jakarta, Aktual.com – Munculnya kasus minyak impor Glencore menunjukan lemahnya fungsi pengawasan Pertamina paska Petral-PES di non aktifkan. Namun, selain masalah impor minyak Glencore, ternyata Pertamina diduga akan merugi lagi akibat wanprestasi Perusahaan Omega Butler (OB).

Berdasarkan informasi, Omega Butler telah memenangkan suplai minyak Bonny Light sebesar 950 ribu barrel per bulan untuk bulan September, Oktober, November dan Desember 2016. OB merupakan perusahaan baru dan belum memiliki reputasi dalam trading minyak internasional, maka ISC-Pertamina mensyaratkan Performance Bond (PB) dengan term pembayaran Telegraphic Transfer. Tanggal kedatangan untuk delivery di bulan September adalah tanggal 15-17 September 2016.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai langkah memasukkan Omega Butler dalam Daftar Mitra Usaha Terdaftar (DMUT) dikhawatirkan akan merugikan Pertamina karena terganggunya pasokan minyak untuk kilang BBM.

“Pertamina sebagai BUMN Migas tidak boleh merugi. Pertamina harus kita lindungi dari para mafia yang baru. Sangat aneh ketika OB bukan perusahaan yang kuat secara finansial bisa memenangkan tender,” ujar Mamit di Jakarta, kamis (6/10).

Menurutnya, apabila benar bahwa OB telah wanprestasi, maka Pertamina harus bisa mencairkan Performance Bond yang mereka berikan sebagai bentuk kompensasi.

“Sebelum penandatangan kontrak, PB tersebut wajib di serahkan oleh OB. Jika memang ada kondisi force majeur, biasanya ada aturan mereka harus memberikan informasi ke Pertamina mengenai kondisi tersebut. Pertamina bisa menolak jika memang tidak sesuai kondisinya,” jelasnya.

Wanprestasi seperti ini menyebabkan kilang Pertamina gagal memenuhi rencana produksi karena kekurangan bahan baku, padahal tenaga kerja dan semua peralatan serta bahan lain telah diadakan. Hal ini menimbulkan kerugian material langsung yang cukup besar. Disamping itu perencanaan pengadaan produk BBM akan menjadi kacau dan menambah volume BBM yang harus dibeli Pertamina.  Di khawatirkan akan mengganggu stok dan menyebabkan terjadi kelangkaan BBM di masyarakat.

“Nah untuk menghindari hal tersebut pasti ISC akan membeli lagi minyak mentah di pasar spot dengan harga MOPS yang jauh lebih tinggi karena kondisi urgent. Jelas ini akan memberatkan keuangan pertamina dan pasti dalam perhitungan MOPS periode berikutnya akan mengalami kenaikan dan bisa saja nanti pemerintah akan menanikan harga bbm,” jelasnya.

Dirinya pun mempertanyakan transparansi dalam tubuh pertamina. Setelah Glencore, ternyata masih ada kasus lain yang butuh transparansi pertamina. Transparansi ini tentunya diharapkan menjadikan pertamina bersih dari kepentingan kelompok, termasuk kepentingan direksi Pertamina sendiri.

“Sudah seharusnya Dirut Pertamina dan ISC harus diperiksa terkait hal ini. Setelah kasus Glencore, kembali ISC dan dirut pertamina lalai dalam mengemban tugas negara,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka