Jakarta, Aktual.com – Organisasi etnis bersenjata tertua di Myanmar, Persatuan Nasional Karen (KNU), menyerukan embargo senjata bagi Tatmadaw, militer negara itu, karena menyerang target sipil berulang kali.

Serangan-serangan itu memaksa lebih dari 12.000 orang etnis Karen melarikan diri dari rumah mereka di desa-desa di Distrik Papun di Negara Bagian Karen dan Distrik Nyaunglebin Wilayah Bago antara 27-31 Maret.

KNU mengatakan pihaknya mengutuk keras serangan udara militer yang menargetkan warga sipil.

Pembunuhan tidak manusiawi terhadap warga sipil, penghancuran sekolah, rumah dan desa merupakan pelanggaran terhadap hukum domestik dan internasional, kata mereka seperti dilansir media Myanmar, Irrawaddy, Sabtu.

Para pemimpin kudeta militer mendorong negara itu ke dalam perang saudara besar-besaran yang potensi menghancurkan stabilitas, persatuan, dan kemerdekaan negara, kata KNU.

Empat belas warga sipil termasuk warga desa etnis Karen tewas dan sedikitnya 12 lainnya luka-luka dalam serangan udara militer di Papun dan Nyaunglebin.

Serangan udara tersebut terjadi setelah penyitaan oleh sayap militer KNU, Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA), pada sebuah pos penjagaan yang sebelumnya dipegang oleh militer Myanmar di Thi Mu Hta pada 27 Maret lalu.

KNU sebelumnya menolak undangan menghadiri perayaan Hari Angkatan Bersenjata militer Myanmar pada 27 Maret.

Mereka mengatakan hanya akan bertemu dengan pemimpin kudeta Jenderal Senior Min Aung Hlaing setelah militer berhenti membunuh warga sipil dan membebaskan tahanan kudeta, termasuk Penasihat Negara Myanmar Daw Aung San Suu Kyi dan Presiden U Win Myint.

“Kami menyerukan komunitas internasional melarang penjualan senjata pemusnah massal, artileri, jet tempur dan teknologi canggih apa pun yang digunakan militer menyerang warga sipil yang tak bersenjata,” kata KNU.

Mereka juga mendesak semua etnis dan komunitas internasional mengambil tindakan keras dan menjatuhkan sanksi efektif terhadap rezim, dengan mengatakan junta menghancurkan masyarakat.

Sejak kudeta, kelompok hak asasi manusia menuntut Dewan Keamanan PBB (DK PBB) segera memberlakukan embargo senjata global terhadap Myanmar.

Hingga Sabtu, setidaknya 550 warga sipil tewas karena tindakan keras militer terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta.

Pada Jumat, DK PBB mengeluarkan pernyataan yang mengutuk militer atas penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa anti-pemerintah di Myanmar, setelah pertemuan tertutup.

Pertemuan itu diadakan sebagai upaya untuk menjatuhkan sanksi kepada rezim militer dan menghentikan pertumpahan darah di Myanmar.

Namun, China kembali menolak “sanksi atau tindakan pemaksaan lainnya” terhadap rezim pada pertemuan DK PBB.

Atas desakan China, PBB melunakkan bahasa pernyataan tersebut, menghapus kata-kata seperti “membunuh” dan “menyesalkan” untuk menggambarkan penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai.

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra