Yangon, Aktual.com – Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi mengusut kekerasan yang dilatarbelakangi sentimen agama dalam kasus penyerangan di sebuah masjid pekan lalu.

Penyidik HAM PBB mencatat serangan itu sebagai yang paling serius dari kekerasan antar agama di Myanmar beberapa bulan terakhir. Dimana sekelompok orang dari sebuah desa di Myanmar menghancurkan sebuah masjid dan memukuli seorang warga Muslim. Menyusul di hari Jumat, sekelompok umat Buddha membakar ruang doa warga Muslim di utara Negara Bagian Kachin.

Catatan kelam itu pun menjadi tantangan bagi sikap Aung San Suu Kyi untuk mengatasi warisan pemerintahan junta sebelumnya terkait kekerasan yang disulut perbedaan agama dan etnis.

Yanghee Lee, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, menyampaikan keprihatinan saat mendapat laporan Pemerintahan Aung San si peraih Nobel Perdamaian menyatakan tidak akan menyelidiki serangan terhadap masjid tersebut.

“Ini sinyal yang salah. Pemerintah harus menunjukkan bahwa menghasut dan melakukan kekerasan terhadap etnis atau agama minoritas tidak memiliki tempat di Myanmar,” kata Lee pada akhir kunjungan 12 hari ke negara itu.

Menurut dia, insiden pidato kebencian, diskriminasi, kebencian, kekerasan dan intoleransi agama yang menjadi perhatian, dapat dilihat sebagai serangan terhadap masa lalu, sekarang dan masa depan dari satu komunitas. “Sangat penting bahwa pemerintah harus mengambil tindakan, termasuk dengan melakukan penyelidikan menyeluruh dan menangkap pelaku,” kata dia.

Sedangkan Phil Robertson dari Human Rights Watch mengatakan Pemerintahan Aung San harus membuat sikap jelas bahwa semua ekstremis yang menghasut kekerasan berbasis agama akan menghadapi hukuman maksimum berdasarkan hukum.

Diketahui, hampir setengah abad junta militer berkuasa, ketegangan agama telah memanas di Myanmar yang mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha. Meningkat pada 2012 menjadi bentrokan antara Muslim Rohingya dan etnis Rakhine Buddha. Kekerasan antara Muslim dan Buddha di bagian lain negara itu tercatat juga pecah pada tahun 2013 dan 2014. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara