Jakarta, Aktual.com – Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diingatkan untuk tidak arogan dan ‘lupa daratan’ merasa di atas angin sebagai incumbent di Pilkada DKI 2017.
Diingatkan politisi PDI-P Adian Napitupulu, kultur politik di Jakarta terlalu dinamis, tidak ada jaminan seorang petahana pasti bakal berhasil. Hasil survei dan klaim 1 juta KTP relawan TemanAhok bukan jaminan apa-apa. Ada banyak faktor yang akan ikut jadi penentu kemenangan.
“Politik tidak sesederhana itu,” ujar dia, dalam keterangan tertulis yang diterima Aktual.com, Kamis (21/7).
Lika liku rekam jejak Ahok sebagai kutu loncat dari satu partai ke partai lain demi ambisi mendapat kursi Gubernur DKI pun dibeberkan kembali oleh Adian. Sebagai contoh bagaimana calon petahana ternyata malah kalah di DKI.
Diawali tahun 2011. Saat Ahok masih jadi Anggota Komisi II DPR RI dari Partai Golkar. Coba maju Pilkada DKI lewat jalur perseorangan. Saat itu ada dua calon perseorangan lain, Faisal Basri dan Hendarman Soepandji.
Dari tiga nama itu, hanya Ahok yang gagal lantaran tidak lolos verifikasi dukungan. KTP yang berhasil dipungutnya kurang dari 100 ribu. Gagal coba-coba jalur perseorangan, Ahok lantas masuk Partai Gerindra. Di partai besutan Prabowo Subianto yang kelak ditinggalkannya juga itu, Ahok ‘dikawinkan’ dengan Jokowi yang diusung PDI-Perjuangan.
Memang, survei di awal-awal 2012, tepatnya di Februari, Jokowi-Ahok hanya meraup elektabilitas 6,5 persen saja. Bandingkan dengan raupan calon petahana Fauzi Bowo – Nara di atas 70 persen.
19 Maret 2012, Jokowi – Ahok daftar ke KPU, diusung PDI-Perjuangan dan Partai Gerindra.
8 April 2012, Lingkaran Survey Indonesia (LSI) merilis hasil Fauzi Bowo-Nara 49,1 persen, masih unggul dari Jokowi – Ahok 14,4 persen.
Kata Adian, di sinilah PDI-P dan Gerindra serta relawan berjuang mati-matian dongkrak elektabilitas Jokowi-Ahok. Lawannya: calon petahana Fauzi Bowo yang didukung tujuh partai, Alex Nurdin yang didukung 11 partai, Hidayat Nurwahid yang didukung PKS dan dua calon perseorangan.
11 Juli 2012. Pilkada DKI digelar. Jokowi – Ahok meraup mendapat 1.187.157 suara atau 34,05persen. Fauzi Bowo mendapat 1.476.648 atau 42.60persen. Faisal Basri 215.935 suara atau 4,98persen. Hendarji memperoleh 85.990 suara atau 1,98 persen. Alex Nurdin yang didukung 11 Partai hanya 202.643 suara atau 4,67persen. Sedangkan Hidayat Nurwahid 508.113 suara atau 11,72 persen.
Kata Adian, perolehan itu mengejutkan hampir semua lembaga survei. Lantaran mayoritas anggap Jokowi-Ahok pasti kalah dari petahana. “Sekitar 90 persen pengamat dan lembaga survey menyebut hasil Pilkada DKI Juli 2012 adalah Anomali,” beber dia.
Pilkada kemudian digelar dua putaran. Jokowi-Ahok ‘head to head’ dengan Fauzi Bowo-Nara. Putara kedua ini, kata Adian, tidak ada lembaga survei yang berani publikasikan hasil. Alasannya, Pilkada Jakarta sangat dinamis sehingga hasil survei tidak serta merta bisa menjadi rujukan.
Berdasarkan pengalaman itu, kata Adian, jika Ahok sebagai petahana yakin menang hanya dari survey tujuh bulan sebelum pilkada 2017, itu sangat prematur. “Begitu juga klaim 1 juta KTP tidak bisa menjadi tolak ukur bahwa Ahok pasti menang. Terlebih lagi karena hari ini belum ada lawan Ahok yang sudah resmi mendaftar,” ujar dia. (Dadang S)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta