Presiden Joko Widodo memanggil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sebelum memimpin Rapat Kabinet Terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat (27/11). Rapat tersebut membahas soal dana bantuan sosial. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/15.

Jakarta, Aktual.com — Anggota Komisi I DPR RI, Effendy Simbolon mendesak Presiden Joko Widodo agar bertanggungjawab atas kegaduhan yang terjadi mengenai polemik pencatutan nama pada kasus PT Freeport Indonesia (PTFI). Bahkan, selain Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga wajib didesak untuk bertanggung jawab atas kegaduhan tersebut.

“Kami ini lembaga legislatif mengawasi Presiden bukan pembantunya yaitu Menteri. Presiden dan Wapres harus terbuka kepada publik. Harus menjelaskan ini semua secara transparan apa yang sebenarnya terjaid dibalik ini,” kata Effendy di Jakarta, Minggu (6/12).

“Walaupun nanti mungkin keduanya akan memberikan pernyataan yang berbeda. Iya pasti berbeda. Kalau ga beda, ga akan gaduh kaya sekarang,” imbuh dia.

Ia pun menyayangkan polemik pencatutan nama yang tengah menjadi sorotan saat ini keluar jauh dari konteks prinsip Negara yang sebenarnya, yakni terkait urusan konstitusi antara PTFI dengan Pemerintahan Indonesia.

“Semua ini carut marut yang tidak pada konteks yang sebenanarnya. Masalah prinsipnya antara Indonesia dan Freeport itu tidak tersentuh. Freeport belum jalankan apa yang ada di Kontrak Karya (KK) tapi masa sudah mau dialihkan ke bentuk kontrak lain,” ungkap dia.

Ditempat yang sama, Analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan, polemik pencatutan nama ini dinilai bermula akibat adanya langkah lobi politik oleh PTFI baik kepada Pejabat pemerintah ataupun Parlemen guna kembali menembus aturan UU Minerba tentang kegiatan pertambangan yang selama ini selalu dilanggar.

Salamuddin menjelaskan, selama ini seluruh perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia masih belum juga menjalankan kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan UU Minerba, termasuk dua perusahaan tambang raksasa sekelas Newmont dan Freeport Indonesia.

“Newmont dan Freeport masih belum melakukan divestasi dan pembangunan smelter, UU Minerba dilanggar, tapi mereka masih diizinkan beroperasi dan melakukan ekspor melalui nota kesepahaman (MoU),” kata Salamuddin.

Lanjutnya, meskipun Kementerian Keuangan telah memberlakukan bea keluar yang sangat tinggi ketika Newmont dan Freeport melakukan ekspor namun tetap saja hal itu sudah melanggar UU karena dilakukan hanya dengan MoU.

“Terus menerus diberi kelonggaran. Padahal saya menilai tidak ada sama sekali komitmen keduanya membangun smelter. Peristiwa ini yang memicu permasalahan papa minta saham ini,” terang dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby