Jakarta, Aktual.com — Pansus Pelindo II DPR menilai skandal perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla jauh lebih dahsyat ketimbang skandal Bank Century yang hanya Rp6,7 triliun.
Pasalnya, potensi kerugian negara dalam kasus PT Pelindo II selama RJ Lino memimpin diperkirakan mencapai Rp30 triliun.
Anggota Pansus Pelindo II DPR RI, Sukur Nababan mengatakan potensi kerugian yang spektakuler itu membuktikan bahwa Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino, melakukan kebohongan besar ketika mengklaim bahwa perusahaan plat merah itu meraih keuntungan.
Bahkan, perpanjangan kontrak JICT yang diberikan Pelindo II kepada HPH (Hutchison Port Holdings) merupakan skandal besar dalam sejarah Indonesia.
“Ini jelas perampokan. Ini skandal yang lebih dahsyat dari kasus Bank Century,” ujar Sukur Nababan di DPR, Jakarta, Senin, (23/11).
Sukur pun menjelaskan potensi kerugian dan keganjilan dalam kasus Pelindo II pada kontrak I, Pelindo II menetapkan HPH, perusahaan Hong Kong, milik Li Ka-shing, menjadi operator JICT periode 1999-2019.
Dalam kontrak pertama, Pelindo II berhak atas royalti sebesar 15% dari pendapatan. Sementara, HPH berhak atas ‘technical knowhow’ sebesar 14,08% dikalikan laba setelah dikurangi pajak (laba bersih).
“Saat kontrak pertama, komposisi sahamnya, Pelindo II 48,9 persen, HPH 51 persen dan kopegmar (koperasi pegawai maritim) 0,1 persen,” ungkapnya.
Alih-alih menunggu masa kontrak habis, lanjutnya, Dirut Pelindo II RJ Lino justru meneken perpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontraknya baru rampung pada 2019.
Dalam kesepakatan baru yang dibuat Lino, Pansus mencurigai beberapa hal. Pertama, kontrak kedua meniadakan sistem royalti menjadi sewa (rent) untuk Pelindo II senilai 85 US dolar juta per tahun. Kedua, jatah HPH atas technical knowhow 14,08% dari laba bersih dihapus. Ketiga, komposisi andil di JICT bergeser, dimana Pelindo II berhak atas 51% saham dan HPH 49%.
“Selama ini, RJ Lino bilang sudah berhasil memberikan keuntungan kepada Pelindo II. Kita melihat justru sebaliknya. Malah potensi kerugian lebih besar. Kita hitung adanya potensi kerugian negara dari kontrak kedua mencapai Rp 20 sampai Rp 30 triliun,” katanya.
Selain melanggar UU Perpanjangan kontrak kedua JICT, Pelindo II juga dinilai melanggar beberapa peraturan perundang-undangan. Pertama, melanggar Pasal 344 Ayat 22 UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menyatakan bahwa setiap kerjasama atau kontrak bisnis harus mendapat persetujuan (konsesi) dari otoritas pelabuhan, dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebagai regulator pelabuhan.
“Tapi RJ Lino selalu bersikeras bahwa perpanjangan ini sepenuhnya wewenang korporasi (Pelindo II). Lino lupa ada UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayanan dimana semua perpanjangan kontrak kerjasama harus minta persetujuan Kemenhub. Celakanya, itu tidak dilakukan RJ Lino,” cetusnya.
Kedua, kata Syukur, RJ Lino juga melanggar UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara.
“Nah kesalahan ini tentunya mengarah kepada penanggung jawab BUMN yakni Menteri BUMN Rini Soemarno,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: