Jakarta, Aktual.com-Pemberhentian delapan Ketua DPD Hanura oleh Pelaksana Harian Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Hanura Chairuddin Ismail dinilai sebagai tindakan ilegal. Tindakan ini memanaskan kondisi internal partai yang didirikan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam).

Mengacu berdasarkan ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) mengatur jika Plh ketua umum tidak berwenang mengambil keputusan strategis, hanya bertugas melakukan persiapan musyawarah luar biasa (Munaslub) saja. Hal itu disampaikan Ketua DPD Hanura Provinsi Papua Yan P. Mandenas dalam konfrensi persnya, di Jakarta, Kamis (20/10).

“Iya (ilegal), kita anggap yang dilakukan Plh ini sangat tidak sesuai AD/ART dan fungsi dan pelaksana tugas ketua harian itu sendiri, karena dalm surat Menkumham Plh ini hanya berfungsi mempersiapkan Munaslub dan tidak mengambil keputusan strategis apalagi memecat ketua-ketua DPD yang sudah melalui Musda secara resmi,” kata Yan Mandenas.

Selain Provinsi Papua, tujuh ketua DPD Hanura yang diberhentikan hingga masih bermasalah saat ini, adalah Ketua DPD Hanura Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Bali, Jawa Timur.

Pernyataan Yan Mandenas itu, merupakan buntut ketidakpuasan atas pemberhentian dirinya sebagai ketua DPD Hanura Provinsi Papua melalui surat keputusan DPP Hanura No: SKEP/151/ DPP/ Hanura/X/2016 tentang pemberhentian Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Papua periode 2015-2016 yang ditanda tangani Plh Ketua Umum Chairuddin dan Sekjen Berliana Kartakusumah, tanpa adanya penjelasan.

“Pada 14 Oktober kemarin ya tiba-tiba kami mendapatkan surat pemberhentian ketua pelaksana harian DPP Hanura tanpa ada alasan yang jelas kepada kami. Sehingga kami merasa apa pelanggaran faktor dikeluarkan pemberhentian,” papar dia.

Masih dikatakan salah satu pendiri Hanura di Papua seraya mengingat jika dirinya tidak pernah melakukan pelanggaran yang fatal selama menjadi kader maupun ketua DPD. Sehingga, pencopotan sebagai Ketua DPD, kata dia, tidak sesuai mekanisme yang ditetapkan dalam AD/ART Partai Hanura pasal 7 huruf a.

Adapun bunyi pasal tersebut yakni kader yang diberhentikan minimal telah menerima surat peringatan sebanyak 2 kali. Sehingga, dia merasa proses pencopotan dirinya melanggar AD/ART Partai.

“Tidak ada tindakan personal yang saya lakukan sebagai kader yang fatal hingga saya diberhentikan. Tidak ada surat teguran, dalam proses tahapan organisasi melalui rapat DPD dan DPC Papua. Kami tidak pernah dipanggil untuk klarifikasi apapun juga. Kami tidak tahu penyebab fatalnya apa,” terangnya.

“Sesuai dengan AD/ART seseorang bakal dipecat pasal 7 huruf a harus melalui surat peringatan 2 kali. Tidak pernah sama sekali diberi surat peringatan ada keganjilan proses itu,” tandas Mandenas.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang